February 18, 2010
Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin
Oleh: Iwan Nurdin
Menurut BPS, penduduk miskin kita tahun lalu turun sebesar 2,43 juta jiwa, meski begitu jumlah penduduk miskin kita masih sangat besar yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenal siapa kaum miskin itu sesungguhnya.
Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggal di pedesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten sampai sekarang belum pernah mendapatkan program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama yang dihadapi mereka yaitu ketiadaan lahan.
Pada awal tahun 2007, SBY pernah menjanjikan segera melaksanakan rencana redistribusi lahan seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Program ini oleh BPN kemudian dikenalkan dengan sebutan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasioal). Sampai sekarang, program ini belum beranjak dari ranah wacana alias jalan ditempat dan kemudian kalah pamor dengan program seperti KUR dan PNPM dll. Padahal, dengan melihat siapa sesungguhnya kaum miskin, program yang saat ini tengah dijalankan pemerintah tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dasar mayoritas kelompok miskin.
Akibat mandegnya PPAN, ada beberapa hal memprihatinkan yang terus menerus terjadi: Pertama, konflik agraria masih marak dan belum menjadi perhatian penuh dari lembaga negara dan pemerintah. Konflik agraria tersebut diakibatkan oleh carut marutnya hukum pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam seperti UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Migas dan UU Mineral dan Pertambangan yang saling tumpang tindih dengan UU Pokok Agraria yang seharusnya menjadi acuan utama. Jadi konflik agraria sesungguhnya disebabkan oleh politik hukum agraria yang jauh dari semangat kerakyatan sehingga penyelesaiannya juga harus dalam kerangka politik yang jelas. Kedua, kegagalan dalam menumbuhkan pertumbuhan ekonomi yang adil melalui pedesaan dan pertanian sehingga konsentrasi kemiskinan masih berada di pedesaan. Ketiga, persoalan tesebut mengekalkan keadaan selama ini yaitu kesenjangan pedesaan dan perkotaan, pertanian dan industri yang mendiskriminasi dan menindas kaum tani dan penduduk pendesaan.
Melunasi Hutang
Jika menoleh kebelakang, ada beberapa sebab utama mengapa PPAN tidak segera dapat diimplementasikan. Pertama, program ini disandarkan kepada BPN sebuah lembaga pemerintah non departemen yang terlalu lemah untuk menjalankan agenda yang begitu besar. Kedua, telah terjadi ego sektoral antar departemen yang selama ini mengelola sumber daya alam dan agraria sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang sesungguhnya lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN yang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat.
Persoalan diatas menandakan dua hal yang saling berkaitan yakni lemahnya komitmen presiden terhadap program yang telah diucapkannya dan diperkuat oleh lemahnya kabinet SBY khususnya Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan BPN dalam menerjemahkan kedalam langkah aksi dan implementasi.
Ada beberapa langkah utama yang harus segara dilakukan presiden. Pertama, presiden SBY seharusnya secara politik memimpin langsung program ini dan segera mengeluarkan PP tentang Pembaruan Agraria yang dijanjikan. Kedua, presiden membentuk lembaga adhoc untuk melaksanakan Pembaruan Agraria Ketiga, memastikan komposisi kabinet yang mengelola sumber-sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan dan pertanahan dalam pemerintahan kedepan benar-benar se-visi dalam hal pengentasan kemiskinan melalui pelaksanaan Pembaruan Agraria.
Ditengah puluhan juta rakyat miskin, tentu tak elok jika pemerintah sekarang dan kedepan masih saja menyia-nyiakan 1.5 juta hektar lahan objek landreform, 650.000 hektar lahan terlantar dan 7.1 juta lahan hutan produksi konversi (HPK). Dia atas lahan tersebut ada hak konstitusional rakyat miskin untuk memperolehnya sehingga hidup mereka bisa berubah dibawah pergantian pucuk kekuasaan saat ini.
February 16, 2010
Orang Asing Pengen Punya Rumah Di Indonesia
Iwan Nurdin
Negara tetangga kita, Australia, Malaysia dan Singapura, telah lama memperbolehkan orang asing memiliki properti. Bahkan, salah satu pembeli utamanya adalah warga negara Indonesia. Pengembang dan pemerintah negara tetangga kita tersebut dilaporkan mendapat keuntungan yang begitu besar dari para pembeli asing. Sebab, orang asing ini membayar pajak, dan pemerintah setempat bisa menghasilkan banyak devisa yang diperoleh lewat konsumsi ekspatriat. Malaysia bahkan lebih berani lagi, lewat program MM2H (Malaysia My Second Home) mereka mengajak lebih banyak orang asing memiliki, tinggal dan menetap di Malaysia.
Saat ini, pemerintah tengah menggodok aturan yang memperbolehkan asing memiliki properti di Indonesia. Harapannya, agar negara kita mendapatkan keuntungan seperti negara tetangga.hmmm..
Menurut UUPA 1960 orang asing tidak bisa memiliki hak atas tanah di Indonesia. Yang bisa memiliki hak atas tanah di Indonesia adalah warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Bagaimana dengan perwakilan negara sahabat, mereka diperbolehkan memakai tanah untuk keperluan diplomatik dan diberi Hak Pakai, dan hak tersebut akan hapus jika tidak lagi dipakai sesuai peruntukannya.
Bagaimana dengan perusahaan asing? Mereka yang hendak menanam modal di Indonesia harus terlebih dahulu berbadan hukum Indonesia, baru kemudian bisa memiliki Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha. Soal kepemilikan saham, Undang-Udang No.25/2007 tentang Penanaman Modal menyatakan 100 persen saham milik asing tidak apa-apa, asalkan berbadan hukum Indonesia. Sehingga, jangan heran, kalau sebagian besar perusahaan sawit di Indonesia sesungguhnya milik asing khususnya Malaysia dan Singapura. Juga, jangan kaget, banyak pulau kecil yang dikelola oleh badan usaha pariwisata milik asing tersebut dilelang melalui situs internet. Kalau diperluas lagi kesoal kehutanan, dan tambang, tidak ada masalah bagi perusahaan asing memiliki usaha kehutanan dan pertambangan di Indonesia. Apakah sudah ada kajian yang menyatakan bahwa negara kita dan rakyatnya telah mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi seperti ini?
Kalau rumah untuk orang asing? Pada tahun 1996 ada peraturan pemerintah yang memperbolehkan orang asing yang berkedudukan di Indonesia minimal sudah enam tahun bisa membeli dan memiliki rumah di Indonesia yang tanahnya tentusaja tidak bisa dia miliki.
Pikir lagi.
Harga properti di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan harga di kawasan sekitar. Dengan diperbolehkannya asing memiliki properti akan membuat harga properti dalam negeri bakal merangkak naik, kenaikan harga properti ini tentu akan semakin menyulitkan bagi rakyat menjangkaunya.
Kedua, bisa jadi semakin sedikit pengembang yang hirau dengan pembangunan rumah untuk menengah kebawah. Selanjutnya, belum ada pembatasan jumlah rumah yang boleh dimiliki dan luasan pekarangannya di Indonesia. Ini berbeda dengan peraturan di pertanian yang membatasi rakyat sebagai individu untuk memiliki luas lahan pertanian. Rakyat dibatasi perusahaan tidak dibatasi (aneh). Jadilah kejadian seperti kasus sawit di atas. Terakhir, tidak ada perbedaan pajak yang harus dibayarkan bagi rumah pertama, rumah kedua dan seterusnya bagi orang-orang kaya.
Hal lainnya yang patut dipikirkan adalah, apakah sudah tepat kalau aturan tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, jenis rumah (landed house atau apartemen) dan harga minimum yang diperbolehkan dimiliki orang asing, pola pembayaran semacam apa yang akan dipakai (cash atau kredit) sebab harus diingat krisis di AS juga karena sektor properti dan tentu saja hak apa yang akan dilekatkan dan untuk berapa lama. Kalau hak milik bisa menjadi masalah, kan?
Negara tetangga kita, Australia, Malaysia dan Singapura, telah lama memperbolehkan orang asing memiliki properti. Bahkan, salah satu pembeli utamanya adalah warga negara Indonesia. Pengembang dan pemerintah negara tetangga kita tersebut dilaporkan mendapat keuntungan yang begitu besar dari para pembeli asing. Sebab, orang asing ini membayar pajak, dan pemerintah setempat bisa menghasilkan banyak devisa yang diperoleh lewat konsumsi ekspatriat. Malaysia bahkan lebih berani lagi, lewat program MM2H (Malaysia My Second Home) mereka mengajak lebih banyak orang asing memiliki, tinggal dan menetap di Malaysia.
Saat ini, pemerintah tengah menggodok aturan yang memperbolehkan asing memiliki properti di Indonesia. Harapannya, agar negara kita mendapatkan keuntungan seperti negara tetangga.hmmm..
Menurut UUPA 1960 orang asing tidak bisa memiliki hak atas tanah di Indonesia. Yang bisa memiliki hak atas tanah di Indonesia adalah warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Bagaimana dengan perwakilan negara sahabat, mereka diperbolehkan memakai tanah untuk keperluan diplomatik dan diberi Hak Pakai, dan hak tersebut akan hapus jika tidak lagi dipakai sesuai peruntukannya.
Bagaimana dengan perusahaan asing? Mereka yang hendak menanam modal di Indonesia harus terlebih dahulu berbadan hukum Indonesia, baru kemudian bisa memiliki Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha. Soal kepemilikan saham, Undang-Udang No.25/2007 tentang Penanaman Modal menyatakan 100 persen saham milik asing tidak apa-apa, asalkan berbadan hukum Indonesia. Sehingga, jangan heran, kalau sebagian besar perusahaan sawit di Indonesia sesungguhnya milik asing khususnya Malaysia dan Singapura. Juga, jangan kaget, banyak pulau kecil yang dikelola oleh badan usaha pariwisata milik asing tersebut dilelang melalui situs internet. Kalau diperluas lagi kesoal kehutanan, dan tambang, tidak ada masalah bagi perusahaan asing memiliki usaha kehutanan dan pertambangan di Indonesia. Apakah sudah ada kajian yang menyatakan bahwa negara kita dan rakyatnya telah mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi seperti ini?
Kalau rumah untuk orang asing? Pada tahun 1996 ada peraturan pemerintah yang memperbolehkan orang asing yang berkedudukan di Indonesia minimal sudah enam tahun bisa membeli dan memiliki rumah di Indonesia yang tanahnya tentusaja tidak bisa dia miliki.
Pikir lagi.
Harga properti di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan harga di kawasan sekitar. Dengan diperbolehkannya asing memiliki properti akan membuat harga properti dalam negeri bakal merangkak naik, kenaikan harga properti ini tentu akan semakin menyulitkan bagi rakyat menjangkaunya.
Kedua, bisa jadi semakin sedikit pengembang yang hirau dengan pembangunan rumah untuk menengah kebawah. Selanjutnya, belum ada pembatasan jumlah rumah yang boleh dimiliki dan luasan pekarangannya di Indonesia. Ini berbeda dengan peraturan di pertanian yang membatasi rakyat sebagai individu untuk memiliki luas lahan pertanian. Rakyat dibatasi perusahaan tidak dibatasi (aneh). Jadilah kejadian seperti kasus sawit di atas. Terakhir, tidak ada perbedaan pajak yang harus dibayarkan bagi rumah pertama, rumah kedua dan seterusnya bagi orang-orang kaya.
Hal lainnya yang patut dipikirkan adalah, apakah sudah tepat kalau aturan tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, jenis rumah (landed house atau apartemen) dan harga minimum yang diperbolehkan dimiliki orang asing, pola pembayaran semacam apa yang akan dipakai (cash atau kredit) sebab harus diingat krisis di AS juga karena sektor properti dan tentu saja hak apa yang akan dilekatkan dan untuk berapa lama. Kalau hak milik bisa menjadi masalah, kan?
February 12, 2010
Dalih Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Proyek infrastruktur kita yang berjalan bak siput telah menuduh proses pengadaan tanah sebagai biang keladi persoalannya. Bayangkan, selama 3 tahun terakhir, dari 21 ruas atau 1700 KM rencana jalan tol trans Jawa yang membutuhkan tanah seluas 6734 Ha, baru 14 persen atau 939 Ha tanah yang bisa dibebaskan.
Berdasarkan hal tersebut dan sejalan dengan rekomendasi national summit, pemerintah menjawab dengan mengusulkan RUU Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Sebab, peraturan yang selama ini dipakai Perpres 36/2005 jo 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Pembangunan dinilai terlalu lembek.
Hak masyarakat terkait tanah diatur oleh UU, tentu menimbulkan masalah ketika hendak diambil alih dengan dalih kepentingan umum hanya menggunakan Perpes yang kekuatan hukumnya dibawah UU. Kesimpulannya, secara teknis dan momentum, hukum pengadaan tanah dinilai sebagai langkah tepat.
Ruwetnya Pengadaan Tanah
Sekarang ini, sebuah proyek untuk kepentingan umum harus melalui penetapan izin lokasi kepada pemda atau pusat sesuai dengan luasan dan cakupan wilayahnya. Setelah lokasi diperoleh, proses dilanjutkan dengan pembebasan tanah, dan terakhir mendaftarkan tanah yang sudah dibebaskan untuk memperoleh hak kepada BPN.
Selama ini, lambatnya proses pengadaan tanah sebenarnya lebih disebabkan oleh simpangsiurnya kewenangan dan pola hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten terkait dengan tanah. Keruwetan telah dimulai sejak dari penetapan lokasi proyek untuk kepentingan umum. Rumitnya, proyek kepentingan umum kerapkali adalah proyek dadakan dan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat. Sehingga, proyek tersebut harus terlebih dahulu merubah RTRW melalui perda.
Selesai penetapan lokasi, soal berpindah pada proses pembebasan lahan. Mekanisme yang populer dipakai adalah beli-putus. Memang dimungkinkan proses lain seperti bagi hasil dan penyertaan modal melalui kepemilikan saham. Namun, aturan ini hanya bersifat pilihan non wajib bagi perusahaan. Rumitnya pembebasan lahan telah membuat perusahaan meng-subkontrakkan pekerjaan ini kepada perusahaan lain, makelar tanah, bahkan kelompok jawara. Disini, warga yang terkena proyek seringkali diintimidasi.
Rampung membebaskan lahan, pemakai tanah wajib mendaftarkan tanah tersebut kepada BPN. Sudah rahasia umum, selain membayar pajak, perusahaan harus membayar pajak tak resmi kepada oknum Pemda dan BPN sejak dari kabupaten hingga pusat.
Menelusuri alur teknis pengadaan tanah diatas, problem keseluruhan sesungguhnya lebih banyak berada di pemerintah. Beban biaya dalam pengadaan tanah banyak disebabkan oleh perilaku aparat pemerintah melalui jalur tidak resmi.
Kalau soalnya demikian, soal yang datang kemudian adalah, RUU ini tidak membahas alur proses pengadaan tanah. Ia hanya mengambil jalan pintas bahwa pengadaan tanah terhambat karena masyarakat banyak menentang dan meminta gantirugi yang tidak wajar.
Secara substansi, ada beberapa masalah utama yang mengganjal dalam RUU ini: pertama, oleh RUU ini, definisi sebuah proyek berstatus kepentingan umum ditetapkan oleh presiden. Ini hal yang berbahaya, pengalaman selama ini Hak Menguasai Negara (HMN) di bidang agraria yang diwakilkan kepada departemen sektoral seperti kehutanan, tambang dan pertanahan dengan alasan demi kepentingan nasional terbukti telah menjadi celah paling sering disalahtafsirkan dan merugikan rakyat. Tidak ada jaminan kejadian semacam ini tidak berulang. Bahkan, dimungkinkan kelak setiap proyek yang mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah memohon kepada presiden untuk ditetapkan sebagai kepentingan umum. Bukankah tidak ada satupun dasar kuat sebuah proyek tidak dapat disebut sebagai proyek yang mewakili kepentingan umum. Semua terbuka untuk diinterpretasi.
Kedua, tidak ada perubahan paradigma dalam proses restitusi tanah yang berlaku selama ini yaitu ganti kerugian. Azas gantirugi yang dipakai adalah persamaan dan kesetaraan. Ini mengherankan, sebab dalam proses pengambilalihan tanah azas yang dipakai seharusnya perlindungan hak asasi korban. Walhasil, RUU ini masih mengedepankan model ganti rugi beli-putus dengan harga penetapan (musyawarah atau pengadilan). Skema lain berupa pemukiman kembali, penyertaan modal hanyalah mekanisme yang bisa dipilih oleh pihak yang memerlukan tanah bukan kewajiban.
Ketiga, dalam prakteknya RUU ini hendak mewujudkan proses pengadaan tanah secara lebih cepat, murah, efisien, dan menjamin kepastian hukum. Poin ini telah menaruh beban berat pengadaan tanah kepada para calon korban yang akan digusur. Sehingga berpotensi menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Tentusaja konflik pertanahan yang begitu marak akan terus terjadi.
Keempat, RUU ini bakal hadir ditengah ketiadaan peta perencanaan pengunaan tanah nasional (land use national map planing) yang telah sejak lama diharapkan kehadirannya. Ketiadaan peta penggunaan tanah telah mengakibatkan terjadinya kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik dan pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan. Selama ini, semua departemen dan pemerintah merumuskan hal ini secara parsial dan sesuai dengan ego sektoralnya sendiri-sendiri. Turunan dari persoalan ini telah mengakibatkan meledaknya konflik seperti penggusuran, penyerobotan tanah.
Terakhir, yang lebih menyedihkan, RUU ini adalah buah dari makelar kebijakan yang malang melintang di tanah air. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2007, Asian Development Bank (ADB) telah mengasistensi BPN-RI untuk mengusulkan Undang-Undang Pengadaan Tanah melalui proyek yang bernama ”Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project”. Anehnya, draft UU Pengadaan Tanah mengakomodir semua hal yang diinginkan oleh ADB. Padahal, inti dari usulan ADB bermuara pada liberalisasi properti dan tanah di tanah air. Telah banyak terbukti, liberalisasi yang diteken selama ini kerap dilakukan tanpa pikir panjang dan akhirnya lebih banyak menyulitkan ketimbang memberi untung masyarakat banyak.
Berdasarkan hal tersebut dan sejalan dengan rekomendasi national summit, pemerintah menjawab dengan mengusulkan RUU Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Sebab, peraturan yang selama ini dipakai Perpres 36/2005 jo 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Pembangunan dinilai terlalu lembek.
Hak masyarakat terkait tanah diatur oleh UU, tentu menimbulkan masalah ketika hendak diambil alih dengan dalih kepentingan umum hanya menggunakan Perpes yang kekuatan hukumnya dibawah UU. Kesimpulannya, secara teknis dan momentum, hukum pengadaan tanah dinilai sebagai langkah tepat.
Ruwetnya Pengadaan Tanah
Sekarang ini, sebuah proyek untuk kepentingan umum harus melalui penetapan izin lokasi kepada pemda atau pusat sesuai dengan luasan dan cakupan wilayahnya. Setelah lokasi diperoleh, proses dilanjutkan dengan pembebasan tanah, dan terakhir mendaftarkan tanah yang sudah dibebaskan untuk memperoleh hak kepada BPN.
Selama ini, lambatnya proses pengadaan tanah sebenarnya lebih disebabkan oleh simpangsiurnya kewenangan dan pola hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten terkait dengan tanah. Keruwetan telah dimulai sejak dari penetapan lokasi proyek untuk kepentingan umum. Rumitnya, proyek kepentingan umum kerapkali adalah proyek dadakan dan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat. Sehingga, proyek tersebut harus terlebih dahulu merubah RTRW melalui perda.
Selesai penetapan lokasi, soal berpindah pada proses pembebasan lahan. Mekanisme yang populer dipakai adalah beli-putus. Memang dimungkinkan proses lain seperti bagi hasil dan penyertaan modal melalui kepemilikan saham. Namun, aturan ini hanya bersifat pilihan non wajib bagi perusahaan. Rumitnya pembebasan lahan telah membuat perusahaan meng-subkontrakkan pekerjaan ini kepada perusahaan lain, makelar tanah, bahkan kelompok jawara. Disini, warga yang terkena proyek seringkali diintimidasi.
Rampung membebaskan lahan, pemakai tanah wajib mendaftarkan tanah tersebut kepada BPN. Sudah rahasia umum, selain membayar pajak, perusahaan harus membayar pajak tak resmi kepada oknum Pemda dan BPN sejak dari kabupaten hingga pusat.
Menelusuri alur teknis pengadaan tanah diatas, problem keseluruhan sesungguhnya lebih banyak berada di pemerintah. Beban biaya dalam pengadaan tanah banyak disebabkan oleh perilaku aparat pemerintah melalui jalur tidak resmi.
Kalau soalnya demikian, soal yang datang kemudian adalah, RUU ini tidak membahas alur proses pengadaan tanah. Ia hanya mengambil jalan pintas bahwa pengadaan tanah terhambat karena masyarakat banyak menentang dan meminta gantirugi yang tidak wajar.
Secara substansi, ada beberapa masalah utama yang mengganjal dalam RUU ini: pertama, oleh RUU ini, definisi sebuah proyek berstatus kepentingan umum ditetapkan oleh presiden. Ini hal yang berbahaya, pengalaman selama ini Hak Menguasai Negara (HMN) di bidang agraria yang diwakilkan kepada departemen sektoral seperti kehutanan, tambang dan pertanahan dengan alasan demi kepentingan nasional terbukti telah menjadi celah paling sering disalahtafsirkan dan merugikan rakyat. Tidak ada jaminan kejadian semacam ini tidak berulang. Bahkan, dimungkinkan kelak setiap proyek yang mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah memohon kepada presiden untuk ditetapkan sebagai kepentingan umum. Bukankah tidak ada satupun dasar kuat sebuah proyek tidak dapat disebut sebagai proyek yang mewakili kepentingan umum. Semua terbuka untuk diinterpretasi.
Kedua, tidak ada perubahan paradigma dalam proses restitusi tanah yang berlaku selama ini yaitu ganti kerugian. Azas gantirugi yang dipakai adalah persamaan dan kesetaraan. Ini mengherankan, sebab dalam proses pengambilalihan tanah azas yang dipakai seharusnya perlindungan hak asasi korban. Walhasil, RUU ini masih mengedepankan model ganti rugi beli-putus dengan harga penetapan (musyawarah atau pengadilan). Skema lain berupa pemukiman kembali, penyertaan modal hanyalah mekanisme yang bisa dipilih oleh pihak yang memerlukan tanah bukan kewajiban.
Ketiga, dalam prakteknya RUU ini hendak mewujudkan proses pengadaan tanah secara lebih cepat, murah, efisien, dan menjamin kepastian hukum. Poin ini telah menaruh beban berat pengadaan tanah kepada para calon korban yang akan digusur. Sehingga berpotensi menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Tentusaja konflik pertanahan yang begitu marak akan terus terjadi.
Keempat, RUU ini bakal hadir ditengah ketiadaan peta perencanaan pengunaan tanah nasional (land use national map planing) yang telah sejak lama diharapkan kehadirannya. Ketiadaan peta penggunaan tanah telah mengakibatkan terjadinya kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik dan pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan. Selama ini, semua departemen dan pemerintah merumuskan hal ini secara parsial dan sesuai dengan ego sektoralnya sendiri-sendiri. Turunan dari persoalan ini telah mengakibatkan meledaknya konflik seperti penggusuran, penyerobotan tanah.
Terakhir, yang lebih menyedihkan, RUU ini adalah buah dari makelar kebijakan yang malang melintang di tanah air. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2007, Asian Development Bank (ADB) telah mengasistensi BPN-RI untuk mengusulkan Undang-Undang Pengadaan Tanah melalui proyek yang bernama ”Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project”. Anehnya, draft UU Pengadaan Tanah mengakomodir semua hal yang diinginkan oleh ADB. Padahal, inti dari usulan ADB bermuara pada liberalisasi properti dan tanah di tanah air. Telah banyak terbukti, liberalisasi yang diteken selama ini kerap dilakukan tanpa pikir panjang dan akhirnya lebih banyak menyulitkan ketimbang memberi untung masyarakat banyak.
Subscribe to:
Posts (Atom)