Oleh: Iwan Nurdin
Globalisasi adalah sebuah rentangan proses yang kompleks yang digerakkan oleh berbagai pengaruh politis dan ekonomis. Globalisasi telah mengubah kehidupan sehari-hari, terutama dinegara-negara berkembang, dan pada saat yang sama ia menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan transnasional baru. Ia lebih dari menjadi sebuah kebijakan-kebijakan kontemporer, globalisasi telah mentransformasikan institusi-institusi masyarakat dimana kita berada (Giddens:1999).
Penyebaran dan dominasi dari wacana-wacana globalisasi yang setali tiga uang dengan neoliberalisme; pasar bebas; menjadi sebuah iman baru dalam masyarakat dunia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari apa yang diungkapkan oleh Gramsci sebagai sebuah proses Hegemoni. Hegemoni pasar telah merasuk kedalam sebuah iman yang sembrono: bahwa kesejahteraan dunia akan berbanding lurus dengan semakin diterimanya secara penuh ideologi pasar.
Sebuah hegemoni membutuhkan institusi yang bertugas sebagai penjaga gawang sekaligus penyerang aktifnya, hegemoni dalam pandangan positivis akan selalu mengarahkan pada sebuah kebutuhan pelembagaan dari tata nilai yang telah dihegemonikan. Dalam sistem pasar rezim penjaga neoliberal yang paling utama adalah Bank Dunia, IMF dan WTO. Globalisasi macam inilah yang secara gencar dipromosikan oleh tiga lembaga ini.
Bank Dunia, mempunyai peran besar dalam diseminasi ideology neo-liberal, karena selain bekerja layaknya sebuah Bank yang membiayai proyek pembangunan sebuah negara bangsa, WB juga adalah sebuah lembaga yang memproduksi pengetahuan (knowledge of bank).
Beberapa Evolusi kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan adalah sbb:
Sampai dengan tahun 1970-an, WB masih meyakini bahwa kepemilikan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir orang hanyalah salah satu (dari banyak) penghambat bagi peningkatan pertumbuhan (produksi) ekonomi dan efisiensi pertanian. Kebijakan utama Bank Dunia masa itu, masih berkutat pada upaya memodernisasi dan industrialisasi aktivitas pertanian lewat sebuah kebijakan yang dikenal dengan nama “Revolusi Hijau”.
Namun, pada tahun 1975, Bank Dunia mengeluarkan sebuah paper dengan nama “Land Refom Policies Paper (LRPP)” yang didalamnya mulai menyadari bahwa telah terjadi kemiskinan dan pengangguran yang mendalam di pedesaan. Dokumen ini kemudian menyarankan agar usaha-usaha memberikan jaminan kepemilikan dan akses lebih lanjut untuk memproduktifkan tanah bagi para keluarga miskin adalah sebuah upaya penting dalam mewujudkan efisiensi ekonomi dan keadilan sosial.
Namun, kebijakan ini belum pernah diimplementasikan. Sebab, sampai dengan awal 1980-an, resep ekonomi yang diberikan kepada negara-negara Amerika Latin yang tengah seiring dengan krisis ekonomi yang tengah melanda wilayah Amerika Latin, WB dan IMF lebih mengkonsentrasikan energi mereka untuk mensukseskan prinsip Washington Consensus lewat program-program penyesuaian struktural (SAPs) seperti privatisasi dll.
Di tahun 1990an, SAPs mendapatkan banyak mendapat kritik tajam dari para ilmuan dan tentu saja mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan gerakan sosial, sebab kebijakan neo-liberal tersebut nyata-nyata telah menyebabkan meluasnya kemiskinan. Sehingga pada tahun 90-an, WB mengumumkan sebuah kebijakan yang kerap mereka sebut sebagai sebuah upaya global memerangi kemiskinan.
Dalam kebijakan ini, landreform kembali menjadi wilayah penting dalam kebijakan WB tentu saja dengan embel-embel memerangi kemiskinan dunia. Namun, satu hal yang secara fundamental sangat berbeda dibandingkan paper mereka di tahun 1975, negara sebagai pelaku utama reforma agraria telah digantikan oleh pasar.
Ada beberapa hal utama yang menjadi basis utama kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan tersebut: pertama, kegagalan atau krisis pada perkebunan besar milik pemerintah ataupun tuan tanah karena tidak efisiens. Kedua, kekagumanan pada hasil-hasil landreform khususnya di Taiwan, Korea Selatan dan Jepang yang mampu mentransformasikan masyarakat disana menjadi sebuah negara yang maju dan sejahtera. ketiga, runtuhnya negara komunisme yang tentusaja disertai dengan propaganda kegagalan reforma agraria yang dipimpin negara (State Led Agrarian Reform) dalam mentransformasikan masyarakat. Keempat, Banyaknya konflik pertanahan yang diakibatkan oleh ketidak pastian sistem kepemilikan tanah, sistem administrasi pertanahan yang buruk dan mahal (korup) yang ada pada pemerintah sehingga perlu dilakukan upaya mendorong sistem administrasi pertanahan yang melindungi hak kepemilikan atas tanah termasuk tanah-tanah bersama (masyarakat adat) sehingga membuka peluang lebih luas bagi tanah-tanah tersebut bersinergi dengan lembaga kauangan perbankan dan tentusaja akan memudahkan investasi modal.
Bagaimanakah Market Led Agrarian Reforms (MLARs) bekerja? MLARs telah dilakukan di wilayah-wilayah negara seperti Amerika Latin ini sesungguhnya bekerja dalam kerangka supply and demand. Para tuan tanah atau pemerintah adalah penyedia tanah-tanah yang akan dibagikan kepada para pengguna tanah. Para penerima manfaat mencari tanah yang akan mereka kerjakan, yakni milik tuan tanah, kemudian melaporkan kepada lembaga land reform. Kemudian, sebuah bank yang telah ditunjuk akan mengganti tanah milik tuan tanah tersebut dengan harga pasar. Para penggarap tanah tersebut atau penerima manfaat akan membayar kembali harga tanah tersebut lewat cicilan kepada perbankan yang ditunjuk. Menurut para pembelanya, pola landreform semacam ini biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan pola lama.
Namun, benarkah demikian? biaya memperoleh tanah secara riil ditanggung sepenuhnya oleh si penerima manfaat (beneficiaries). Padahal, dalam model lama biaya ini ditanggung oleh pemerintah. Biaya riil yang ditanggung oleh penerima manfaat menjadi lebih besar dikarena harga-harga tanah yang akan diambil oleh penerima manfaat selalu menjadi lebih tinggi dari harga sebelumnya. Pasalnya, demand bertambah sementara supply tanah selalu tetap. Persoalan lainnya, MLARs membuat hutang negara penyelenggara kepada lembaga donor dunia semakin bertambah. Lagi-lagi, pembayar utama dari hutang ini adalah penerima manfaat. Terakhir, MLARs sebagai sebuah upaya transformasi sosial menuju tatanan yang lebih adil tidak tercapai. Sebab, lemahnya intervensi negara dalam proses MLARs telah membuat landreform tidak lebih sebuah upaya menghilangkan kemiskinan absolut semata. Bukan sebuah upaya transformasi sosial ekonomi masyarakat pertanian dan pedesaan yang tentusaja berkorelasi kuat skema pembangunan nasional negara bangsa.
Jakarta, 11 Desember 2007
Iwan Nurdin
December 11, 2007
December 3, 2007
DARI ERA KERAJAAN HINGGA TANAM PAKSA: POKOK-POKOK PENGUASAAN TANAH DI JAWA
Oleh Iwan Nurdin
A.Pendahuluan
Tulisan ini adalah rencana dari seri penulisan yang mencoba mengetengahkan pandangan-pandangan penulis tentang pokok-pokok penguasaan tanah di Jawa yang dan perubahan-perubahan sosial utama yang mengikutinya dibelakang.
Tentusaja, sebagai sebuah proyek penulisan dari penulis yang mengisahkan tentang keutamaan atau pokok-pokok semata, pikiran-pikiran yang terkandung didalamnya tidak mengetengahkan sebuah hal-hal yang khusus terjadi apalagi sebuah pengistilahan khusus yang kerapkali terjadi di pedesaan Jawa yang sebenarnya sangat beragam. Namun, keberagaman tersebut ternyata menghadirkan kembali pola-pola umum yang terjadi.
Seri tulisan ini bersifat mengurai semata berdasarkan kurunwaktu. Kemudian, dalam seri tulisan selanjutnya penulis akan mencoba menghadirkan kepada pengasuh bagaimana cikal bakal kehadiran kelas petani gurem dan kaum buruh di pedesaan Jawa hingga mengupasnya kedalam perjuangan reforma agraria.
B.Pokok Penguasaan Tanah Masa Pra-Kolonial
Sejarawan Onghokham (1984) menjelaskan bahwa dalam konsepsi kerajaan Mataram Islam atau sebelumnya, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja sebagai pusat kekuasaan dan kalangan Abdi Dalem. Di kalangan abdi dale mini terdapat kelas elit yang berstatus priyayi/adik raja. Bagi Raja inilah sesungguhnya warga negaranya (kawula). Sementara, diluar kalangan tersebut terdapat kalangan wong cilik.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan tanah. Mereka diberi hak oleh raja untuk menguasai namun tidak memiliki. Sebab, Raja adalah pemilik semua tanah. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani sikep).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat. Jika priayi tersebut meninggal dunia, tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak.
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah. Petani yang menguasai tanah disebut Sikep, mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi. Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan social terendah.
Sikep memperoleh tanah langsung dari raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru dengan cara memecah penguasaan sikep lama (pancasan).
Sementara itu, para numpang juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara bergantian dan tidak boleh memilikinya yang diatur oleh kepala desa (bekel). Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Beberapa kesimpulan yang diuraikan oleh Onghokham tersebut adalah: Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Dengan melihat pola-pola umum penguasaan tanah ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa Mataram Islam dapat diartikan bahwa tanah mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
C.Penguasaan Tanah Pada Masa Kolonial
Kolonialisme yang panjang di Jawa, dan dimulai dari daerah pesisir Utara menuju kepedalaman Jawa telah membuat struktur penguasaan tanah pada masa sebelum kolonialisme berubah. Rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, yang mencakup era merkantilis hingga era industri modern telah membuat penguasaan tanah di Jawa menyesuaikan diri dengan negara induknya (Simarmata: 2002; Rajagugkguk:1995).
Pada masa VOC, agaknya kongsi dagang ini belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah dan kekuasaan. VOC lebih berminat mengadakan perjanjian kerjasama dan atau pemaksaan penguasa wilayah di Jawa bekerjasama untuk memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC (Kartodirdjo dan Suryo: 1991).
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial. Meski terdapat kekecualian khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk (Tanah Partikelir).
B.1 Pajak Tanah Raffles
Pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Dikenalkanlah oleh sang gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah (Rajagukguk:1995).
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif, Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya. Sistem ini sama dengan penguasaan dimasa sebelumnya yang dikenal dengan tanah partikelir.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah (Tjondronegoro dan Wiradi (Peny): 1984).
Pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles dianggap kurang berhasil dalam menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat masih dibebaskan menggarap tanah dengan jenis tanaman apa saja.
Beberapa kesimpulan pola penguasaan tanah dan bagaimana sistem utama yang dijalankan pada masa Raffles adalah: pertama, Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip pajak dari petani dengan cara mengganti penguasaan tanah melalui tangan kekuasaan pemerintah jajahan yang masih tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah. Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk. Ketiga, Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
B.2 Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga membawa segi perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles, khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles, namun dinyatakan tidak lagi berlaku oleh Belanda (Rajagukguk: 1994).
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984), Perang Diponegoro yang berlangsung sejak 1825-1830 juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan pada penguasa kolonial.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa. Sementara, para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diwariskan berikut fasilitas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984).
Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji. Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
Semua penduduk desa memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah (Rajagukguk:1995). Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut (Simarmata:2002). Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerja wajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya (Prisma:1991).
Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa (Simarmata:2002).
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern (Rajagukguk:1995). Bahkan, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan yang diambil dari Jawa sebebesar 823 juta gulden. (Simarmata:2002).
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991).
Jakarta, 3 Desember 2007
Iwan Nurdin
A.Pendahuluan
Tulisan ini adalah rencana dari seri penulisan yang mencoba mengetengahkan pandangan-pandangan penulis tentang pokok-pokok penguasaan tanah di Jawa yang dan perubahan-perubahan sosial utama yang mengikutinya dibelakang.
Tentusaja, sebagai sebuah proyek penulisan dari penulis yang mengisahkan tentang keutamaan atau pokok-pokok semata, pikiran-pikiran yang terkandung didalamnya tidak mengetengahkan sebuah hal-hal yang khusus terjadi apalagi sebuah pengistilahan khusus yang kerapkali terjadi di pedesaan Jawa yang sebenarnya sangat beragam. Namun, keberagaman tersebut ternyata menghadirkan kembali pola-pola umum yang terjadi.
Seri tulisan ini bersifat mengurai semata berdasarkan kurunwaktu. Kemudian, dalam seri tulisan selanjutnya penulis akan mencoba menghadirkan kepada pengasuh bagaimana cikal bakal kehadiran kelas petani gurem dan kaum buruh di pedesaan Jawa hingga mengupasnya kedalam perjuangan reforma agraria.
B.Pokok Penguasaan Tanah Masa Pra-Kolonial
Sejarawan Onghokham (1984) menjelaskan bahwa dalam konsepsi kerajaan Mataram Islam atau sebelumnya, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja sebagai pusat kekuasaan dan kalangan Abdi Dalem. Di kalangan abdi dale mini terdapat kelas elit yang berstatus priyayi/adik raja. Bagi Raja inilah sesungguhnya warga negaranya (kawula). Sementara, diluar kalangan tersebut terdapat kalangan wong cilik.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan tanah. Mereka diberi hak oleh raja untuk menguasai namun tidak memiliki. Sebab, Raja adalah pemilik semua tanah. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani sikep).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat. Jika priayi tersebut meninggal dunia, tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak.
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah. Petani yang menguasai tanah disebut Sikep, mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi. Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan social terendah.
Sikep memperoleh tanah langsung dari raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru dengan cara memecah penguasaan sikep lama (pancasan).
Sementara itu, para numpang juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara bergantian dan tidak boleh memilikinya yang diatur oleh kepala desa (bekel). Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Beberapa kesimpulan yang diuraikan oleh Onghokham tersebut adalah: Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Dengan melihat pola-pola umum penguasaan tanah ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa Mataram Islam dapat diartikan bahwa tanah mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
C.Penguasaan Tanah Pada Masa Kolonial
Kolonialisme yang panjang di Jawa, dan dimulai dari daerah pesisir Utara menuju kepedalaman Jawa telah membuat struktur penguasaan tanah pada masa sebelum kolonialisme berubah. Rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, yang mencakup era merkantilis hingga era industri modern telah membuat penguasaan tanah di Jawa menyesuaikan diri dengan negara induknya (Simarmata: 2002; Rajagugkguk:1995).
Pada masa VOC, agaknya kongsi dagang ini belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah dan kekuasaan. VOC lebih berminat mengadakan perjanjian kerjasama dan atau pemaksaan penguasa wilayah di Jawa bekerjasama untuk memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC (Kartodirdjo dan Suryo: 1991).
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial. Meski terdapat kekecualian khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk (Tanah Partikelir).
B.1 Pajak Tanah Raffles
Pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Dikenalkanlah oleh sang gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah (Rajagukguk:1995).
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif, Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya. Sistem ini sama dengan penguasaan dimasa sebelumnya yang dikenal dengan tanah partikelir.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah (Tjondronegoro dan Wiradi (Peny): 1984).
Pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles dianggap kurang berhasil dalam menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat masih dibebaskan menggarap tanah dengan jenis tanaman apa saja.
Beberapa kesimpulan pola penguasaan tanah dan bagaimana sistem utama yang dijalankan pada masa Raffles adalah: pertama, Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip pajak dari petani dengan cara mengganti penguasaan tanah melalui tangan kekuasaan pemerintah jajahan yang masih tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah. Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk. Ketiga, Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
B.2 Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga membawa segi perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles, khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles, namun dinyatakan tidak lagi berlaku oleh Belanda (Rajagukguk: 1994).
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984), Perang Diponegoro yang berlangsung sejak 1825-1830 juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan pada penguasa kolonial.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa. Sementara, para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diwariskan berikut fasilitas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984).
Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji. Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
Semua penduduk desa memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah (Rajagukguk:1995). Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut (Simarmata:2002). Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerja wajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya (Prisma:1991).
Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa (Simarmata:2002).
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern (Rajagukguk:1995). Bahkan, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan yang diambil dari Jawa sebebesar 823 juta gulden. (Simarmata:2002).
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991).
Jakarta, 3 Desember 2007
Iwan Nurdin
December 1, 2007
Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Oleh: Iwan Nurdin
Pendahuluan
Seperti telah penulis ulas sebelumnya, sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles (Rajagukguk: 1994) namun sistem ini dinyatakan tidak berlaku oleh Belanda.
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghok Ham, Perang Diponegoro (1825-1830) juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan colonial.
Kekalahan yang dialami oleh pihak kerajaan dalam perang ini telah membuat keresahan yang dialami oleh para priayi-priayi semakin meningkat. Sebab, dalam situasi politik yang tidak stabil tersebut, intrik-intrik politik terkait kesetiaan para priayi kepada raja tentu merupakan isu yang sangat sensitif. Sehingga, setiap saat mengancam kedudukan sosial mereka.
Dalam posisi ini, Belanda sebagai pemenang perang yang telah memahami hubungan sosial ini, menawarkan sebuah solusi politik yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan para priyayi. Tawaran tersebut adalah pemberian tanah milik, gaji uang bulanan, dan kedudukan yang dapat diwariskan. Bagi para priyayi, dalam situasi politik yang demikian, tawaran ini adalah kesempatan yang sangat menggiurkan. Sebab, unsur ketidakpastian tentang status sosial dan kepemilikan tanah yang selama ini melekat dalam sistem politik feodal kerajaan Jawa terhadap para priayi dihilangkan.
Pelaksanaan Politik Tanam Paksa.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemidahan kekuasaan agrarian dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda. Para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Juga dapat kita dilacak bahwa politik tanam paksa juga dalam beberapa segi meneruskan dan merubah sistem pajak Raffless saja dengan. Hanya saja pajak dihapuskan dengan pemaksaan kerja dan jenis tanaman. Tanaman tersebut adalah kopi, tebu dan nila.
Secara garis besar tanam paksa dijalankan di Jawa dengan cara:
1.Menghidupkan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah dan memperkuatnya menjadi kekuasaan yang dapat diwariskan.
2.Bahkan, untuk bupati diberi tanah gaji dan juga gaji bulanan. Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji dengan kewajiban menyerahkan seluruh wilayah lungguh mereka. Sehingga, para cacah (sikep) yang berada di dalam wilayah tanah lungguh juga dikuasai oleh pemerintah kolonial. Penguasaan terhadap sikep berarti juga penguasaan terhadap numpang dan bujang dalam wilayah lungguh untuk dijadikan tenaga kerja.
3.Domein Theory semasa Raffless bahwa tanah adalah milik negara tetap diteruskan dan direpresentasikan kepada unsur terkecil pemerintahan berupa kepemilikan desa terus dilanjutkan bahkan diperluas cakupannya hingga ke Jawa Pedalaman. Perbedaanya, para kepala desa ini memperoleh tanah gaji dan kedudukan yang dapat diwariskan.
4.Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
5.Semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
6.Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah. Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut. Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
7.Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerjawajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya.
8.Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini.
9.Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831.
Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini.
Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa tersebut adalah yang bisa kita periksa adalah:
1.Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
2.Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
3.Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
4.Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
5.Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
6.Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Penutup
Dari sistem wajib setor VOC hingga era tanam paksa, kita memperoleh gambaran beberapa jenis penguasaan tanah di Jawa hingga era tanam paksa: pertama, tanah negara yang dahulunya telah dilelang kepada perorangan untuk dikuasai particuliere landerijen (tanah partikelir) yang didalamnya berarti juga turut menguasai penduduknya. Didalamnya juga diwajibkan tanam paksa bagi petani dan pajak-pajak kepada pedagang oleh pemilik tanah. kedua, tanah yang dikuasai dan digarap oleh penduduk dengan luas kepemilikan yang kecil sekedar untuk menjadikan mereka wajib mengikuti kerja tanam paksa karena menggarap tanah. Tanah kongsen tanah dimana seluruh penduduk desa wajib bekerja mulai dari menanam dan memelihara tanaman tersebut secara Cuma-Cuma dan pemerintah desa mengontrol ketat setiap penduduk untuk menjalankan kerja tanam paksa secara bergiliran. ketiga, tanah gaji para elit desa, wedana hingga bupati yang juga dikerjakan oleh penduduk.
Jakarta, 29 November 2007
Iwan Nurdin
Pendahuluan
Seperti telah penulis ulas sebelumnya, sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles (Rajagukguk: 1994) namun sistem ini dinyatakan tidak berlaku oleh Belanda.
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghok Ham, Perang Diponegoro (1825-1830) juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan colonial.
Kekalahan yang dialami oleh pihak kerajaan dalam perang ini telah membuat keresahan yang dialami oleh para priayi-priayi semakin meningkat. Sebab, dalam situasi politik yang tidak stabil tersebut, intrik-intrik politik terkait kesetiaan para priayi kepada raja tentu merupakan isu yang sangat sensitif. Sehingga, setiap saat mengancam kedudukan sosial mereka.
Dalam posisi ini, Belanda sebagai pemenang perang yang telah memahami hubungan sosial ini, menawarkan sebuah solusi politik yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan para priyayi. Tawaran tersebut adalah pemberian tanah milik, gaji uang bulanan, dan kedudukan yang dapat diwariskan. Bagi para priyayi, dalam situasi politik yang demikian, tawaran ini adalah kesempatan yang sangat menggiurkan. Sebab, unsur ketidakpastian tentang status sosial dan kepemilikan tanah yang selama ini melekat dalam sistem politik feodal kerajaan Jawa terhadap para priayi dihilangkan.
Pelaksanaan Politik Tanam Paksa.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemidahan kekuasaan agrarian dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda. Para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Juga dapat kita dilacak bahwa politik tanam paksa juga dalam beberapa segi meneruskan dan merubah sistem pajak Raffless saja dengan. Hanya saja pajak dihapuskan dengan pemaksaan kerja dan jenis tanaman. Tanaman tersebut adalah kopi, tebu dan nila.
Secara garis besar tanam paksa dijalankan di Jawa dengan cara:
1.Menghidupkan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah dan memperkuatnya menjadi kekuasaan yang dapat diwariskan.
2.Bahkan, untuk bupati diberi tanah gaji dan juga gaji bulanan. Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji dengan kewajiban menyerahkan seluruh wilayah lungguh mereka. Sehingga, para cacah (sikep) yang berada di dalam wilayah tanah lungguh juga dikuasai oleh pemerintah kolonial. Penguasaan terhadap sikep berarti juga penguasaan terhadap numpang dan bujang dalam wilayah lungguh untuk dijadikan tenaga kerja.
3.Domein Theory semasa Raffless bahwa tanah adalah milik negara tetap diteruskan dan direpresentasikan kepada unsur terkecil pemerintahan berupa kepemilikan desa terus dilanjutkan bahkan diperluas cakupannya hingga ke Jawa Pedalaman. Perbedaanya, para kepala desa ini memperoleh tanah gaji dan kedudukan yang dapat diwariskan.
4.Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
5.Semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
6.Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah. Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut. Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
7.Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerjawajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya.
8.Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini.
9.Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831.
Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini.
Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa tersebut adalah yang bisa kita periksa adalah:
1.Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
2.Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
3.Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
4.Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
5.Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
6.Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Penutup
Dari sistem wajib setor VOC hingga era tanam paksa, kita memperoleh gambaran beberapa jenis penguasaan tanah di Jawa hingga era tanam paksa: pertama, tanah negara yang dahulunya telah dilelang kepada perorangan untuk dikuasai particuliere landerijen (tanah partikelir) yang didalamnya berarti juga turut menguasai penduduknya. Didalamnya juga diwajibkan tanam paksa bagi petani dan pajak-pajak kepada pedagang oleh pemilik tanah. kedua, tanah yang dikuasai dan digarap oleh penduduk dengan luas kepemilikan yang kecil sekedar untuk menjadikan mereka wajib mengikuti kerja tanam paksa karena menggarap tanah. Tanah kongsen tanah dimana seluruh penduduk desa wajib bekerja mulai dari menanam dan memelihara tanaman tersebut secara Cuma-Cuma dan pemerintah desa mengontrol ketat setiap penduduk untuk menjalankan kerja tanam paksa secara bergiliran. ketiga, tanah gaji para elit desa, wedana hingga bupati yang juga dikerjakan oleh penduduk.
Jakarta, 29 November 2007
Iwan Nurdin
Subscribe to:
Posts (Atom)