Iwan Nurdin
Tak bisa dipungkiri bahwa dari enam juta buruh migran yang mengalir ke luar negeri sebagian besar berasal dari desa-desa. Dengan pendidikan dan keahlian kerja yang rendah, para penduduk desa ini bermigrasi keluar negeri untuk menempati sektor pekerjaan yang telah ditinggalkan penduduk negara tempatan seperti pekerja konstruksi, pekerja perkebunan dan pekerja rumah tangga.
Dalam perjalanannya, tenaga kerja dari desa ini banyak mengalami persoalan-persoalan sulit dan rumit di negara tempatan seperti gaji tidak dibayar, jenis pekerjaan yang tidak sesuai kontrak, jam kerja, bekerja di bawah ancaman dan penyiksaan.
Sayangnya, dalam merespon dan menangani persoalan ini pemerintah dan lembaga sosial melihatnya dalam cara pandang perkotaan. Sehingga kerapkali memposisikan para TKI sebagai tenaga kerja modern perkotaan. Cara pandang seperti ini sebenarnya gejala amnesia sejarah.
Pola penangan seperti ini sebenarnya melupakan bahwa individu-individu yang menjadi TKI selama ini berasal dari produk sosial masyarakat yang rendah dalam mengkonsumsi partisipasi sosial, politik dan hukum ala masyarakat perkotaan modern. Sehingga, lembaga pengaduan, keluhan, memperjuangkan jam kerja melalui organisasi PRT dll. terasa aneh dan jauh di luar tubuh orang-orang seperti Ceriyati dan Nirmala Bonat.
Karenanya, acapkali alat-alat penanganan bersama yang dibuat lewat bilateral agreement sulit dikunyah oleh TKI kita, apalagi dicerna dengan baik. Apalagi, dalam perjanjian ini posisi lemah berada di pihak TKI kita.
Pembangunan Pedesaan
Komitmen pemerintah yang lemah dalam penanganan TKI adalah cermin buruk kita dalam memahami dan menangani secara serius persoalan desa. Karena sampai sekarang, tangan pembangunan yang partisipatif memang belum pernah menjangkau pedesaan kita.
Penyebab penting tidak dilibatkannya desa dalam pembangunan sosial ekonomi selama ini adalah: pemerintah dari tingkat pusat hingga kabupaten sesungguhnya memakai pendekatan sektoral dalam tata laksana pemerintahan (governance). Sementara, desa dibiarkan sendiri dalam tata pemerintahan yang spasial/teritorial (Arie Sujito: 2007).
Pola seperti ini telah menggeser kebutuhan-kebutuhan desa dan tertutup rapat oleh pendekatan sektoral yang dilakukan pemerintah. Sehingga, meski terdapat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat kabupaten, sesungguhnya pola yang dipakaikan kepada desa dan pola yang dikenakan pemerintah tidak pernah bisa bertemu.
Dengan posisi desa yang seperti ini, tidak heran kita menemukan di sebuah teritori desa yang sebagian besar penduduknya tidak mempunyai tanah pertanian, tanah-tanah yang ada justru dialokasikan oleh pemerintah untuk industri perkebunan dan kehutanan melalui dinas-dinas terkait.
Maka, persoalan penduduk desa kita yag bermigrasi keluar negeri menjadi TKI sesungguhnya berada di pusaran kebijakan pemerintah dalam memposisikan desa dan masyarakat pedesaan kita.
Dalam sidang International Conference on Agraria Reform and Rural Deevelopment (ICARRD) yang diselenggarakan FAO 2005 di Porto Alegre, Brazil, pembahasan mengenai keterkaitan isu-isu imigrasi, perbudakan modern, sesungguhnya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kegagalan pelaksanaan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan di negara-negara yang tengah membangun.
Di Indonesia, kegagalan pembangunan pedesaan utamanya disebabkan kebutaan pemerintah dalam tentang potensi desa secara khusus untuk kemudian dirumuskan kedalam peta transformasi masyarakat pedesaan dan pertanian kita. Sarana transformasi itu misalnya Badan Usaha Bersama Milik Petani atau Badan Usaha Bersama Milik Desa. Yang ada adalah orang desa diberi skill lebih baik untuk menjadi TKI dan hukum perlindungannya diperbaiki setahap demi setahap.
Sehingga, alih-alih berencana menyetop pengiriman TKI keterampilan rendah pada tahun 2015, justru pemerintah terus berencana menaikkan target devisa yang dihasilkan oleh TKI. Jika demikian, tepatlah julukan kita sebagai bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa.
Tak banyak yang bisa kita harapkan dari hukum atau majikan TKI untuk bertindak adil dengan penduduk desa yang menjadi TKI. Tak banyak yang bisa diharap dari kerja perwakilan pemerintah kita, LSM yang peduli dengan masalah perlindungan TKI meski mereka bekerja dengan sepenuh hati sekalipun sebab begitu dalamnya permasalahan dan luasnya keterbatasan bekerja di negera lain yang berdaulat.
Kecuali pemerintah kita menargetkan dengan pasti kapan ekspor TKI keterampilan rendah ini dihentikan, dan mulai kapan melalui transformasi agraria dan masyarakat pedesaan kita melalui pembaruan agraria sejati dimulai.
24 Juni 2007
Iwan Nurdin
1 comment:
Betul. TKI harus distop, man.
Post a Comment