June 11, 2007

Daur Ulang Kolonialisme di Indonesia




Oleh: Iwan Nurdin


Akhirnya, Undang-Undang Penanaman Modal disyahkan DPR tanggal 29 Maret 2007 lalu. Tercatat fraksi PDI-P menolak dan melakukan walk out, fraksi PKB yang awalnya meminta penundaan pengesahan dan akhirnya menerima dengan catatan, sementara yang lain dengan suara bulat menerima pengesahan UU ini.

Sebenarnya, tidak perlu heran dengan lahirnya kebijakan ini, bukankah yang demikian inilah yang lazim berlaku sekarang. Sebuah permufakatan jahat antara eksekutif dan legislative dalam menjual modal negara merdeka sehingga rakyat kita terus terjerembab dalam lubang kemiskinan. Hanya saja, situasinya sekarang terasa lebih menggila.

Banyak kalangan menyatakan, bahwa ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi kita: UUD 1945. Meski, kalau kita melihat kejadian masa lalu, sebulan setelah kemerdekaan juga Bung Hatta mengeluarkan Maklumat No.IX 1945 yang membolehkan berdirinya partai-partai dan selanjutnya pembentukan demokrasi parlementer yang sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Tapi meski demikian, bongkar pasang sistem politik pada masa tersebut didasari oleh keinginan yang sama yakni: mengeyahkan kolonialisme yang saripatinya adalah kapitalisme dari bumi Indonesia. Inilah yang dasar pembeda yang utama dengan membedakan dengan situasi yang sekarang.

Daur Ulang Krisis
Selama Orde Baru berkuasa, praktek membangun perekonomian nasional dengan mengandalkan hutang dan investasi telah dilakukan. Namun, pengalaman kita sendiri sebagai bangsa telah memperlihatkan sekaligus mengajarkan bahwa investasi asing dan hutang luar negeri selama ini telah semakin menjauhkan diri bangsa Indonesia dari usaha mencapai kemandirian perekonomian bangsa.

Investasi langsung (FDI) di Indonesia adalah corak investasi yang mengandalkan kedatangan industri yang hendak merelokasi usaha mereka karena kebijakan upah, pajak dan isu lingkungan di negara asalnya. Tidak mengherankan jika FDI yang datang dan bahkan keluar dari dan ke negara kita karena alasan-alasan pembanding ini (comparative advantage).

Padahal, konsep upah buruh murah di negara kita ditetapkan oleh pemerintah dengan menyandarkan pada harga dasar kebutuhan hidup. Harga ini didasarkan pada hasil-hasil pertanian seperti harga beras dan kebutuhan pokok lainnya. Dengan kata lain, masyarakat pertanian dan pedesaan Indonesia adalah pensubsidi utama kebijakan buruh murah. Inilah sebabnya, sebelum petani panen harga gabah telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah. “Subsidi” ini telah mengakibatkan usaha pertanian rakyat yang gurem selalu merugi dan telah mengeluarkan petani secara “paksa” dari tanah-tanah pertaniannya.

Liberalisasi investasi asing langsung/FDI juga telah mendorong kehancuran industri-industri menengah dan kecil serta usaha rakyat lainnya yang semestinya dilindungi dan dikembangkan. Sehingga, kesimpulan bahwa investasi langsung menciptakan lapangan kerja adalah salah besar. Jumlah tenaga kerja yang terserap oleh FDI tidak sebanding dengan hilangnya pekerjaan rakyat yang bekerja pada sektor UKM dan pertanian.

Sementara investasi tidak langsung pada pasar uang dan pasar saham telah menyebabkan perekonomian nasional disetir oleh spekulan uang dan saham. Pengalaman krisis 98 adalah bukti nyata betapa praktek liberalisasi keuangan dan modal telah menyebabkan kehancuran seluruh tatanan sosial ekonomi di Indonesia. Sehingga, pengesahan UU ini sebenarnya akan medaur ulang krisis ekonomi 1998, sementara pada saat beroperasi UU PM, korban dipihak petani, buruh dan pengusaha kecil berjatuhan.

Daur Ulang Praktek Kotor Korporasi
Tuduhan bahwa undang-undang ini akan melegalkan praktek buruk investasi lebih khususnya praktek kotor modal dan korporasi di lapangan agraria selama ini dapat dilihat dalam isi dari UU ini yang memberi fasilitas bagi korporasi berupa Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, HGB 80 tahun, Hak Pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus (pasal 22). Selain bertentangan dengan UUPA 1960, UU ini bahkan mencadangkan tanah untuk usaha perkebunan jauh lebih lama dari hukum agraria kolonial Belanda yang tujuannya sama yakni menarik investasi swasta perkebunan di Indonesia. Bandingkan dengan Agrarische Wet 1870, pemerintah kolonial saja hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU (hak erpacht) selama 75 tahun.

Dengan pasal ini, secara kasat mata kita dapat melihat bahwa dalam prakteknya kelak ini tidak diarahkan untuk mendorong kemandirian perekonomian rakyat. Para pengambil kebijakan tidak meyakini bahwa petani kita mampu membangun perkebunan, pertanian dan perikanan atau bahkan ditingkatkan menjadi perusahaan bersama milik petani dan nelayan. Justru UU ini percaya bahwa para pemodal adalah kelompok paling tepat diberi tanah yang luas, sementara rakyat cukup menjadi tenaga kerja murah di dalamnya. Inilah ciri utama hukum agraria kolonial yang dihidupkan kembali atas nama investasi. Membiarkan petani gurem tanpa tanah modal dan teknologi.

Dari pasal ini saja, terlihat bahwa pemerintah nampaknya berperilaku gelap mata terhadap investasi. Daftar perilaku gelap mata terhadap investasi ini masih dapat diperpanjang seperti: ketentuan perlakuan sama bagi perusahaan nasional dan asing, kemudahan pengalihan asset, larangan nasionalisasi, dan kemudahan tenaga kerja asing. Poin-poin ini, telah diulas diawal adalah tata cara kerja modal dalam usaha menjauhkan peran negara, pemerintah, dan rakyat dalam mencapai mencapai tujuan kemerdekaan nasional seperti telah tertuang dalam pembukaan konstitusi.

Memulai Aliansi Gerakan Pembebasan Nasional
Sebenarnya, kebutuhan modal nasional untuk pembangunan dapat diperoleh dengan hal-hal sebagai berikut:
A. Pembaruan Agraria
Pengertian pembaruan agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya seperti terangkum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Inti dari reforma agraria adalah landreform atau redistribusi tanah dengan segala segi-segi pendukungnya. Tanpa landreform, maka reforma agraria yang dijalankan adalah palsu belaka.

Pentingnya landreform sebagai fondasi ekonomi yang kokoh bagi sebuah negara dan tumbuhnya demokrasi yang stabil telah banyak dicontohkan. Pengalaman-pengalaman negara yang berhasil sebagai negara yang kuat secara ekonomi politik sebab mengawali pembangunannya dengan menjalankan landreform adalah Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan China. Mereka ini adalah sebuah contoh sukses negara di Asia yang berhasil membangun kekuatan ekonomi disebabkan landreform.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan landreform mampu menghasilkan sebuah landasan bagi kekuatan ekonomi nasional yang kokoh dan juga demokrasi yang stabil, yakni (Setiawan:1997):


Redistribusi tanah akan membuat rakyat mempunyai lahan sehingga lebih mampu berproduksi dengan hasil panen yang lebih besar, pada akhirnya daya beli petani akan lebih meningkat. Peningkatan daya beli ini akan menggerakkan sektor ekonomi lainnya yakni industri industri nasional yang sedang tumbuh memperoleh pasar dalam negeri yang besar. Dengan demikian, tanpa landreform upaya menghasilkan sebuah basis industri nasional yang kuat adalah mimpi belaka.


Meningkatnya daya beli berarti meningkatnya penghasilan rakyat. Peningkatan penghasilan atau pendapatan rakyat akan sangat berarti dalam peningkatan tabungan nasional masyarakat khususnya tabungan pertanian. Rendahnya tabungan nasional masyarakat selama ini telah menyebabkan negara mengambil jalan pintas dengan mengandalkan hutang luar negeri dan mengutamakan investasi asing. Kedua hal ini, telah diulas dimuka, dalam jangka pendek dan jangka panjang nyata-nyata telah merugikan masyarakat dan melemahkan kedaulatan ekonomi politik bangsa secara keseluruhan.


Meningkatnya hasil produksi rakyat sebagai hasil landreform akan menjamin ketersediaan bahan baku untuk tumbuhnya industri kecil dan industri rumah tangga bahkan industri nasional yang tengah dibangun. Dengan land reform berarti ketergantungan bahan baku impor akan berkurang.


Redistribusi tanah akan menghasilkan diferensiasi kerja di tengah-tengah masyarakat. Proses ini akan melahirkan kelompok kepentingan dan asosiasi-asosiasi kepentingan yang baru. Sehingga, demokrasi dapat lebih tumbuh sebab didorong oleh kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan yang tengah tumbuh dalam masyarakat. Tahapan ini akan memunculkan sebuah karakter demokrasi yang matang.
Dengan beberapa faktor diatas, dapat dilihat betapa pentingnya reforma agraria sebagai sebuah upaya yang sangat menentukan arah sebuah bangsa secara keseluruhan.

B. Nasionalisasi
Sudah sangat lama, perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi hasil kekayaan alam di Indonesia khususnya pertambangan bebas melakukan penjarahan seluruh sumber-sumber agraria wilayah tambang di Indonesia. Padahal, menurut konstitusi kita ini adalah terlarang (Pasal 33). Tentusaja, sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat, amanat konstitusi ini mesti dijalankan. Perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak ini sebaiknya dinasionalisasi.

Nasionalisasi ini berarti orientasi produksi dan keuntungan-keuntungan dari perusahaan ini mestilah dipergunakan sebagai modal nasional untuk melakukan pembangunan nasional yang lebih berencana dan berorientasi kepada rakyat banyak. Dengan demikian, nasionalisasi juga berarti kepemilikannya ada pada negara.

Sebagai bukti bahwa industri ini pertambangan mineral asing gagal memberi kontribusi positif adalah pada negara adalah minimnya pendapatan yang diperoleh yakni hanya 1,3-2,3 trilyun terhadap APBN dalam 4 tahun terakhir, lebih kecil dari sektor kehutanan. Nilai tambahnya juga rendah karena bahan tambang diekspor dalam bentuk bahan mentah, ditambah rendahnya penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal.

PT Freeport misalnya, yang telah beroperasi selama 32 tahun di Papua membuktikan dengan baik kegagalan ini. Dari 1.448 ton emas dikeruk dari Papua, belum lagi tembaga dan perak, kondisi Papua justru jauh dari "kemilau emas" nya. Papua jsutru memiliki jumlah penduduk miskin terbesar. Bahkan, akumulasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di atas 35% berada di kawasan konsesi PT Freeport. Hal serupa juga terjadi di masyarakat tambang lainnya seperti Newmont Minahasa


Politik Investasi
Pemerintah mestilah membangun politik investasi yang jelas. Politik investasi adalah mengarahkan modal untuk berproduksi dan membangun kekuatan atas sumber-sumber ekonomi nasional baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak luar hanya ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selama ini, politik investasi kita yang berupa liberalisasi investasi keuangan dan investasi langsung telah terbukti membawa dampak buruk secara nasional. Politik investasi yang dimkasud adalah:
1. Pengaturan yang jelas sektor-sektor investasi langsung yang boleh dimasuki oleh sektor privat nasional dan asing serta sektor investasi yang dilarang dikuasai dan dimasuki oleh privat sesuai dengan mandat konstitusi.
2. Pengutamaan kepentingan industri kecil dan menengah, koperasi dan industri rakyat lainnya untuk terus berkembang ketimbang pengusaha besar atau investasi asing untuk terus memperkuat modal nasional dalam membangun perekonomian nasional yang kokoh.
3. Dengan kedua hal ini sesungguhnya investasi yang mengalokasikan pengadaan tanah bagi usaha skala besar untuk pengusaha industri kehutanan dan industri perkebunan adalah tertutup dan dilarang. Tanah-tanah tersebut haruslah diperuntukkan petani dan upaya-upaya yang sunguh-sungguh membentuk badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa dalam bentuk koperasi. Usaha pembentukan ini adalah bagian sepenuhnya dari program pembaruan agraria.



Jakarta, 4 April 2007
Iwan Nurdin
Kordinator Advokasi Kebijakan KPA
iwan_selamat@yahoo.com

No comments: