June 15, 2007

Memberi Ujung Pada Konflik Agraria


Oleh: Iwan Nurdin[1]

Setiap kali nyawa dicabut secara paksa oleh tangan-tangan kekuasaan. Dalam tempo singkat, suara korban perlahan tapi pasti “dikalahkan” oleh suara pelaku. Sehingga, dengan mudah peristiwa kekerasan lainnya menyusul kembali. Seolah tidak ada efek jera. Kekerasan kemudian melingkar dan mengular dalam sebuah spiral yang tak berujung.
Menengok pada kekerasan yang terjadi selama ini, terdapat alur umum yang jamak terjadi, yaitu bekerjanya akumulasi modal secara primitif (capital violence) yang berselingkuh dengan kekuasaan (state violence), dan dibingkai oleh hukum (judial violence). Akhirnya, hukum adalah alat melegalkan kekerasan itu sendiri (Gunawan: 2007). Disinilah titik utama kelemahan bekerjanya hukum positif kita bekerja selama ini: mereproduksi kekerasan. Maka, seringkali kita menyaksikan bahwa penyelesaian secara hukum adalah proses legal dalam membungkam dan mengalahkan pihak korban.

Dalam hal konflik agraria, keadaaan ini terus terjadi, tidak sulit kita menemukan benih dari tiga pilar kekerasan yang diulas di atas bekerja ditengah rakyat. Sebagai contoh, masyarakat petani di Jawa menganut prinsip sadumuk bathuk sanyari bhumi; ditohi pati. Artinya kurang lebih: meski sejengkal, tanah adalah harga diri yang akan dipertahankan sampai mati. Sementara, prinsip yang dianut kekuasaan adalah pengalokasian tanah kepada kelompok yang paling menghasilkan nilai tambah ekonomi paling maksimal. Dan sudah pasti kelompok yang diharapkan oleh pemerintah bukan petani. Bingkai dari prinsip kekuasaan agraria model ini adalah UU No.41/1999 Kehutanan. UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU No.18/2004 tentang Perkebunan. Sementara, UU yang melindungi hak-hak agraria rakyat seperti UUPA 1960 telah lama dikebiri oleh sejumlah PP yang dilahirkan kemudian.

Ujung Konflik
Melihat maraknya konflik agrarian, patut dipikirkan dan segera direalisasikan ujung akhir sebagai kanal penutup dari semua konflik agraria yang ada.

Menurut Cristodolou (1990) Konflik Agraria yang merebak sebenarnya adalah tanda utama dari kebutuhan untuk segera dilaksanakannya Pembaruan Agraria. Sebab, konflik agraria selalu disebabkan oleh alasan-alasan ketimpangan pemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber-sumber agraria.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik agraria yang terjadi sangat luas dan mendalam. Dalam kurun waktu 30 tahun lebih, ada 1.753 kasus sengketa tanah yang dapat direkam dan dikategorikan sebagai sengketa tanah struktural. Dari keseluruhan sengketa tersebut, 19.6% terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar. 13.9% dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum, militer dan fasilitas perkotaan; 13.2% akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 8.0% merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 6.6% merupakan sengketa akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 4.4% sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 4.2% adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Dalam sengketa-sengketa dan konflik itu tidak kurang dari 1.090.868 rumah tangga telah menjadi korban langsung, dan meliputi tidak kurang dari 10.5 juta hektar lahan yang disengketakan (Usep Setiawan:2005).

Sementara, perihal ketimpangan agraria digambarkan secara jelas oleh Sensus Pertanian (ST) 2003 kita. Jumlah petani gurem kita meningkat menjadi 56,5 persen dari rumah tangga pertanian yang totalnya 25, 4 juta meningkat dari jumlah 20,8 juta pada 1993. Dari jumlah itu, sebanyak 13.8 juta atau 54,4 persen rumah tangga pertanian berada di Jawa selebihnya 11.4 juta atau 45,1 persen berada di luar Jawa. Sedangkan, ST 93 komposisinya adalah 56,1 persen di Jawa dan 43,9 persen di luar Jawa. Selama sepuluh tahun, jumlah petani gurem meningkat 2,6 persen/tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada 1993 menjadi 13,7 juta tahun 2003.

Dengan demikian, Pembaruan Agraria adalah usaha yang bertujuan merombak struktur agraria yang timpang ini kedalam struktur agraria yang lebih adil. Oleh karena itu, rencana pemerintah baru-baru ini mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sebenarnya sangat tepat dan positif.

Namun, PPAN pemerintah ini haruslah didasari pada dua persoalan mendasar tersebut yakni merebaknya konflik agraria dan ketimpangan agraria. Dengan demikian, PPAN haruslah melekatkan dua hal pokok: Komitmen politik yang kuat dari pemerintah yang tercermin dalam kelembagaan pelaksana pembaruan serta pelibatan serikat tani dalam identifikasi objek dan subjek pembaruan agraria. Jika salah satu dihilangkan maka, tujuan-tujuan Pembaruan Agraria akan mengalami kegagalan.

Semoga saja, Kasus Pasuruan menjadi pelajaran penting bahwa Pembaruan Agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat dalam mengideintifikasi subjek dan objek reforma agraria sesungguhnya melencengkan salah satu tujuan dari pembaruan agraria yakni memberi ujung pada konflik agraria.



Jakarta, 13 Juni 2007
Iwan Nurdin

No comments: