Oleh: Idham Arsyad
Dari hari ke hari sengketa tanah Meruya semakin riuh dan mengundang perhatian publik. Awalnya hanya sengketa perdata biasa, kini secara perlahan mengarah ke kasus pidana dengan adanya indikasi penipuan dan pemalsuan. Keterlibatan Pemda dan Anggota Dewan juga memicu kasus ini menjadi beraroma politis.
Terlepas dari siapa yang berhak atas tanah seluas 78 Ha yang saat ini dihuni ribuan kepala keluarga dan beberapa pemukiman mewah, sengketa tanah Meruya ini membuka mata kita betapa karut marutnya administrasi pertanahan kita. Yang terang bahwa dua pihak yang bersengketa sama-sama mempunyai alas hak atas tanah tersebut. PT.Portanigra memenangkan proses pengadilan dengan alat bukti girik, sedang warga bertahan karena punya sertifikat.
Karut marut itu terlihat dari tidak padunya sistem informasi pertanahan, lemahnya pendataan serta lemahnya koordinasi antar departemen. Situasi ini kemudian membawah konsekuensi pada diabaikannya hak rakyat atas pelayanan publik yang nyaman dan memadai serta tidak adanya kepastian hukum.
Mal Administrasi Pertanahan
Dua klaim alas hak di atas satu objek tanah bukan hanya terjadi di Meruya. Di berbagai tempat kasus serupa dapat ditemukan. Seringkali prosesnya berawal dari peralihan hak melalui transaksi di bawah tangan dengan motif beragam tentunya, atau diawali dengan kasus penyerobotan dan penertiban sertifikat ganda.
Kasus penyerobotan dan penertiban sertifikat ganda banyak dilatari karena rencana pemanfaatan tanah untuk usaha ekonomi dan pembangunan. Berdasarkan data keluhan yang masuk di komisi ombudsman nasional antar tahun 2000-2001 menunjukkan bahwa pelaku utama penyobotan banyak dilakukan oleh perusahaan (63%), perorangan (23,1%), pemerintah (9,6%) dan militer (3,8%). (Dianto Bachriadi, dkk : 2005).
Situasi di atas dapat dijelaskan sebagai praktik mal administrasi di bidang pertanahan. Mal administrasi di bidang pertanahan dimaknai dalam dua tataran, pertama sebagai tindakan penyimpangan pejabat pemerintah yang mengakibatkan ketidakadilan terjadi. Dan kedua bahwa dari segi kebijakan pertanahan memang tidak memungkinan rakyat mendapatkan keadilan. Untuk kasus sengketa Meruya dapat dikaterorikan sebagai mal administrasi yang terjadi karena kelalaian dan penyimpangan pemerintah dalam menjamin kepastian hukum dari warga meruya dari ancaman pihak luar sehingga timbul sertifikat ganda.
Tetapi di berbagai daerah di republik ini banyak kasus perampasan tanah rakyat disebabkan karena politik kebijakan pertanahan tidak memihak kepada kepentingan rakyat kecil Mal administrasi Pertanahan ini harus menjadi perhatian serius untuk ditangani. perhatian serius, karena terkait dengan pelayanan negara terhadap publik. Kita tidak bisa membiarkan silang sengketa antar institusi negara atau pejabat pemerintah dalam ha kepastian rakyat atas tanah. Saat ini ribuan orang sedang merindukan tanah, bila kejadian Meruya terus berulang, maka sudah barang tentu setiap orang dihantui oleh ketidaknyamanan.
Percepat Pendaftaran Tanah
Karut Marut administrasi pertanahan adalah cerminan dari persoalan agraria yang lebih besar. Ada banyak kasus dan sengketa agraria lahir karena tidak berkejanya sistem administrasi pertanahan ini. Padahal UUPA No.5/1960 memberi jalan terang untuk mengatasi karut marut ini melalui mekanisme pedaftaran tanah, sebagaimana yang di atur dalam pasal 19. Pasal tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tujuannya dari pendaftaran tanah selain untuk kepastian hukum, juga untuk mengatur relasi rakyat dengan negara dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah serta untuk pengaturan lalu lintas ekonomi.
Andai saja sistem administrasi pertanahan ini berjalan dengan baik, maka kasus seperti meruya dengan mudah diidentifikasi pemilik sah dan alas haknya. Karena dapat dipastikan akan terdata di buku tanah dan ketahuann bila terjadi peralihan hak.
Di sisi lain, pendaftaran tanah merupakan keniscayaan untuk pelaksanaan reforma agraria. Karena melalui pendaftaran tanah akan diketahui keberadaan tanah absente, batas maksimum yang merupakan objek land reform. Seperti yang kita ketahui bahwa melalui BPN pemerintah hendak menjalankan reforma agraria, maka saatnya proses pendataan dan perbaikan informasi pertanahan menjadi bagian yang harus dibenahi. Justru kegiatan pendaftaran tanah ini lah harus menjadi prioritas, bukan proses sertifikasi.
Kasus Meruya memberi pelajaran penting bahwa sertifikasi tidak mutlak menjamin kepastian hak atas tanah, karena memungkinkan lahir sertifikat ganda. Begitu juga program sertifikasi tidak akan menghilangkan ketimpangan penguasaan atas tanah, padahal sejatinya reforma agraria harus menghapus ketimpangan kepemilikan dan penguasaan atas tanah.
No comments:
Post a Comment