May 29, 2007

Pentingnya Konfederasi Nasional Serikat Tani di Indonesia (1)


Oleh: Iwan Nurdin

Lahirnya gerakan sosial dan gerakan politik yang menuntut keadilan agraria melalui pembaruan agraria tidak dapat dipisahkan dengan berlakunya rezim politik agraria yang berlaku di tanah air sejak era kolonialisme hingga sekarang ini.

Pembedaanya, pada masa lalu, gerakan-gerakan yang menuntut keadilan agraria ini sangat kental hubungan langsungnya dengan gerakan politik. Bahkan, gerakan langsung mengasosiasikan diri dalam wadah-wadah partai politik yang ada. Pembedaan lainnya, gerakan pada masa kolonialisme diarahkan langsung pada tuntutan politik tertinggi: kemerdekaan nasional.

Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya dimasa kekuasaan Soekarno, ciri-ciri ini tetap dipertahankan. Pola gerakan semacam ini telah mengakibatkan gerakan yang menuntut pembaruan agraria khususnya gerakan landreform dengan mudah diberi stigma PKI/komunisme setelah kekuasaan Orde Baru naik.

Gerakan pembaruan agraria mulai bangkit kembali secara perlahan pada masa Orde Baru di tengah kondisi masyarakat yang dididik oleh pemerintah untuk menjauhi aktifitas yang berbau politik dan ideologi (depolitisasi dan deideologisasi). Sehingga, salah satu ciri gerakan pembaruan agraria di masa orde baru dan dalam beberapa hal bertahan hingga sekarang ini adalah sebuah organisasi gerakan sosial dalam berbagai bentuk atau formasi organisasinya, meski sangat bertendensi politik dalam isu-isu perjuangan yang tengah dibangun.

Pada awalnya, wilayah-wilayah gerakan sosial RA ini tumbuh dan ditentukan oleh kreatifitas langsung dari para aktivis gerakan –biasanya kaum terpelajar dan atau kelas menengah perkotaan-- serta pimpinan organisasi gerakan setempat untuk menumbuhkan sebuah solidaritas sosial yang baru.

Karena depolitisasi ini, para pelaku dan organisasi RA selalu menghindar pola-pola penyelesaian melalui politik yang artifisial dengan kekuasaan, semisal membuat organisasi politik. Sebab, di kalangan rakyat sendiri, pada masa itu menilai bahwa penyelesaian konflik agraria lewat jalur-jalur organisasi politik model begini dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan.

Para aktivis gerakan agraria, mendorong tumbuhnya solidaritas dikalangan tani pada masa Orde Baru melalui sesuatu yang ada dan langsung dialami di dalam penderitaan kaum petani, semisal konflik agraria. Sehingga, dari solidaritas bersama ini tumbuhlah identitas gerakan pembaruan agraria dengan menjadikannya sebagai sebuah serikat/organisasi petani.

Dari proses ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan terpenting dan sangat awal dari gerakan pembaruan agraria pada masa Orde Baru adalah kemampuan para aktivis gerakan memetamorfosakan ketidakpuasan masyarakat menjadi sebuah ikatan solidaritas.

Ikatan ini dibangun dari proses interaksi bersama-sama para aktivis dengan rakyat yang dengan segala kreatifitasnya memanggil penderitaan yang tengah dialami oleh rakyat kedalam sebuah ”konfrontasi” terhadap politik agraria yang tengah berlaku sehingga menimbulkan sebuah perasaan dan ikatan bersama.

Jadi: ciri lanjutan dari gerakan pembaruan agraria pada tahap ini adalah gerakan advokasi penyelesaian beragam kasus/sengketa agraria.

Membaca dari kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa Gerakan Pembaruan Agraria (GPA) adalah sebuah langkah kolektif dari sekumpulan orang-orang yang memiliki penderitaan yang sama dalam satu rezim penguasaan tanah yang mengeksploitasi mereka.

Gerakan ini tumbuh dan hidup dalam berbagai gerakan tani, masyarakat adat di tingkat lokal. Mereka, juga telah turut mendorong lahirnya gerakan tani di tingkat nasional sebagai sebagai sebuah bentuk representasi gerakan.

Selama ini, gerakan pembaruan agraria khususnya gerakan tani di tingkat nasional adalah terusan perjuangan yang kerapkali berfungsi sebagai pengeras suara dari berbagai rangkaian persoalan yang dialami oleh masyarakat agraria di tingkat lokal. Selain itu, GPA di level nasional juga memainkan peran advokasi kebijakan yang bertujuan supaya kebijakan politik di tingkat nasional memberi ruang lebih besar dan luas bagi tumbuhnya gerakan-gerakan pembaruan agraria di lokal.

Namun, ciri terpenting dari gerakan pembaruan agraria di nasional adalah membenarkan apa-apa yang tengah dilakukan dan terjadi di tingkat lokal (reklaiming, okupasi, pendidikan dan pengorganisasian) dengan cara melakukan advokasi ke dalam tubuh-tubuh kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, Komnas HAM). Upaya ini bertujuan agar serikat-serikat di tingkat lokal itu bisa tetap eksis, membesar atau bermertamorfosa.

Sementara itu, proses di tingkat lokal juga mengalami perkembangan penting, sebab banyak wilayah-wilayah gerakan yang telah melakukan okupasi tanah berhasil melakukan transformasi sosial didalamnya dengan cara merubah cara-cara berproduksi mereka. Semisal sekelompok buruh kebun disekitar perkebunan telah berubah menjadi menjadi petani skala rumah tangga. Pada wilayah-wilayah hutan produksi misalnya, banyak kelompok tani telah berhasil merubah corak bertanam monokultur milik perusahaan kehutanan menjadi sistem wanatani yang mandiri. Dengan cara pandang yang lain, sebenarnya telah terjadi kantung-kantung revolusi agraria di lokal-lokal Indonesia meski skalanya masih pada level kampung.

Pada organisasi tani yang lain, untuk menjaga eksistensi dari kantung lokal pembaruan agraria tersebut, mereka memanfaatkan ruang-ruang politik yang tengah dibuka oleh negara dengan memanfaatkan seperti ruang politik seperti pemilihan Kepala Desa, BPD bahkan Parlemen Lokal dan beberapa bahkan memainkan peran penting dalam pemilihan kepala daerah dan DPD.

Beragamnya perkembangan organisasi perjuangan pembaruan agraria di Indonesia ini menuntut para pelaku gerakan untuk terus membuka ruang politik pembaruan agraria agar menjadi lebih luas, memainkan ruang dialog yang lebih luas antar gerakan pembaruan agraria di wilayah dan nasional ini betujuan untuk saling membagikan pengalaman yang ada. Dan, yang terpenting adalah melakukan transformasi agraria secara sistematis pada wilayah-wilayah pendudukan gerakan pembaruan agraria untuk dijadikan basis ikatan solidaritas yang baru dalam gerakan pembaruan agraria.

Jakarta, 29 Mei 2007
Iwan Nurdin

May 20, 2007

KIta Butuh Pengadilan Agraria

Mendesaknya Pembentukan Lembaga Pengadilan Agraria
Oleh: Iwan Nurdin

Meski dalam kecemasan, warga Meruya Selatan sedikit lebih beruntung. Ada sejumlah anggota DPR dan Gubernur DKI Jakarta yang siap pasang badan membela mereka mulai dari mencegah eksekusi hingga gugatan balik ke pengadilan. Bisa jadi, jika tidak ada aset Pemda, Komplek Perumahan Pegawai DPR dan DPA, Univeritas milik konglomerat ternama, tentu eksekusi Meruya telah lama dilakukan. Dan, semua pejabat akan bersuara sama, “kita negara hukum, maka kita semua wajib menaatinya”.

Putusan MA yang mengalahkan warga Meruya Selatan atas PT. Porta Nigra sedikit banyak telah membuka kembali tabir carut marutnya administrasi pertananahan yang ada dan telah mengakibatkan menyeruaknya konflik agraria di tanah air. Kasus ini hanyalah salah satu 2810 kasus tanah yang saat ini tercatat di BPN dan belum bisa diselesaikan. Di dalamnya, cerita model Meruya jamak ditemui.

Menilik kasus-kasus pertanahan, penulis mencatat ada beberapa keumuman yang dipakai oleh seseorang ataupun perusahaan dalam memperebutkan tanah. Pertama, melalui pengadilan. Cara kerjanya: dua orang/kelompok/badan hukum bersengketa memperebutkan klaim kepemilikan tanah melalui pengadilan. Anehnya, objek sengketa adalah areal pertanian bahkan perkampungan. Sementara, masyarakat setempat tidak tahu menahu adanya sengketa melalui pengadilan tersebut. Setelah pengadilan memenangkan salah satu pihak. Maka, masyarakat digegerkan perintah pengosongan dan eksekusi pengadilan yang tiba-tiba datang.

Pintu masuk ke pengadilan biasanya adalah akta jual beli, beredarnya sertifikat ganda, bahkan izin lokasi diatas tanah belum bersertifikat. Umumnya, setelah sampai di pengadilan warga biasa menjadi tidak berkutik.

Kedua: mensertifikatkan Tanah Negara kepada yang tidak berhak. Seperti diketahui, Pemda dan BPN tidak bisa melepaskan tanah perkebunan khususnya PTPN meskipun tanah-tanah tersebut tidak digarap secara benar. Ancamannya adalah penghilangan asset negara/korupsi. Namun, pelepasan ini dimungkinkan dan dibenarkan jika perusahaan tersebut mengajukan sendiri pelesapan areal HGU-nya. Awalnya, perkebunan meminta masyarakat menggarap areal perkebunan dengan tanaman pangan dalam jangka waktu 3 tahun. Disela-sela waktu tersebut, PTPN mengajukan pelepasan areal HGU dengan alasan telah diduduki oleh masyarakat. Anehnya, tanah tersebut kemudian bersertifikat atas nama oknum BPN, Pemda dan pegawai perkebunan. Seringkali areal HGU PTPN disekitar kota-kota seperti Medan dan Semarang dilepaskan dengan cara-cara seperti ini.

Ketiga, kasus-kasus lebih rumit bisa ditemukan di areal kehutanan yang akan dialihfungsikan ke perkebunan. Sebab, acapkali izin lokasi perkebunan yang diberikan Pemda hanyalah kedok perusahaan dalam mengambil hasil kayu. Penyelesaian ini lebih rumit sebab selain aturan hukum kehutanan dan pertanahan yang saling menegasikan, kasus seperti ini juga bertali bertali temali dengan kepentingan buruh tebang, masyarakat adat hingga dana reboisasi dan rehabilitasi lahan yang kesemuanya menggiurkan.

Percepatan Penyelesaian Kasus.
Dari tiga cara yang umum dipakai ini saja, kita bisa melihat betapa licinnya para mafia tanah dalam memanfaatkan bolongnya peradilan kita saat menyidangkan kasus pertanahan.

Padahal, dalam kasus pertanahan banyak sekali dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial, religi, keberlanjutan komunitas masyarakat dan juga harga diri dan martabat manusia (dignity). Dan, ditengah pertentangan ini, Pengadilan Umum dan Tata Usaha Negara (TUN) seringkali hanya memandang sisi formalitas hubungan hukum antara individu/komunitas dengan tanah semata. Maka, wajar kemudian putusan pengadilan seringkali bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Berulangnya putusan-putusan yang semacam ini, telah membuat pihak yang bersengketa khususnya pihak korban lebih memilih mengadukan persoalan pertanahan ke Komnas HAM, DPR RI.

Oleh sebab itu, patut dipikirkan segera dibentuk sebuah badan peradilan agraria yang independen di negeri kita. Peradilan ini, bisa berupa peradilan khusus yang berada dibawah peradilan umum layaknya Pengadilan Pajak, Niaga, Anak, Sengketa Perburuan, Perikanan, Pengadilan Syariah di Aceh, Pers yang telah ada. Bahkan, jika diperlukan dalam masa-masa awal, mengingat banyaknya kasus agrarian, pengadilan ini dibuat sejajar dengan pengadilan umum.

Peradilan ini bisa diisi oleh hakim-hakim adhoc yang ahli tidak semata-mata hukum tanah secara formil, tetapi memahami aspek pertanahan yang multidimensional itu. Dengan demikian, peradilan ini mestilah dibentuk dengan berdasarkan UU yang merujuk pada UUPA 1960 dan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebenarnya, usulan serupa ini telah banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan ahli dan aktivis masyarakat sipil hingga lembaga negara seperti Komnas HAM melalui pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Namun, sepertinya di negeri ini tanah masih terlalu mahal untuk diserahkan kepada dewi keadilan yang sebenarnya. Entah berapa banyak Meruya lagi dibutuhkan.


Naskah Awal Untuk Diskusi.
Iwan Nurdin

13 Mei 2007

May 18, 2007

Menguatkan Masyarakat Desa

Menguatkan Pedesaan
Iwan Nurdin[1]

Baru di abad ini, semua penyokong eksistensi negara-bangsa begitu mempercayai bahwa kesejahteraan umat manusia ditentukan oleh seberapa bersahabat dengan pasar. Padahal, beberapa dekade lalu, para aparat negara bangsa masih berkutat pada usaha-usaha menjinakkan keliaran pasar. Ukuran bersahabat dengan pasar masa kini sederhana saja: bebaskan perkenonomian dari intervensi pemerintah!

Sejak naiknya Orde Baru, sesungguhnya pendulum kebijakan ekonomi politik kita secara perlahan tapi pasti menuju arah yang berkesesuaian dengan pasar bebas bahkan dengan kecepatan yang semakin tinggi seiring dengan reformasi ekonomi yang dibimbing IMF dan Bank Dunia sejak 98 hingga sekarang.

Rezim pasar bebas di Indonesia menampilkan beberapa sisi pokok: memberi kesejahteraan pada segelintir, meminggirkan tanpa ampun kaum banyak nan papa karena tidak mampu memenangkan kompetisi bebas dan terakhir memberi harapan giliran hidup sejahtera pada yang lain.

Jika skala peta diperbesar, nampaklah bahwa korban yang terpinggirkan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Penyebab utama mengapa petani dan buruh tani menjadi kelompok beresiko tinggi dalam globalisasi disebabkan oleh rendahnya kepemilikan luas lahan pertanian rumah tangga petani, keterbatasan modal dalam mengembangkan lahan yang ada, serta lambannya perkembangan teknologi pertanian dipedesaan yang mendorong diversifikasi kerja.

Kedaulatan ekonomi politik pedesaan sesungguhnya sangat rentan dalam menghadapi kebijakan global dewasa ini. Sebab, globalisasi ekonomi yang mengagungkan asas perlakuan sama dalam semua bidang baik pertanian, industri, perdagangan dan jasa telah memposisikan desa semakin sulit dikembangkan dari dalam dan atau melalui dirinya sendiri. Sehingga, faktor diluar desa jauh lebih dominan dalam mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan dan acapkali perubahan ini semakin memarjinalkan desa.

Melihat kecenderungan ini, usaha untuk memperjuangkan dan mengembalikan kedaulatan ekonomi poltik desa mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab, sebagian besar penduduk kita mendiami pedesaan dan berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Desa yang kuat dan sejahtera adalah cermin negara yang sehat.


Badan Usaha Milik Desa.
Saat ini, di negeri kita terdapat 68.000 desa, dan 45 persen darinya dikategorikan sebagai desa tertinggal. Sementara, 75 persen penduduk yang mendiaminya merupakan buruh tani atau petani gurem dengan lahan pertanian kurang dari 0.5 ha. Inilah wajah bopeng pedesaan, karena diperkirakan setiap dua hari, rata-rata lebih dari satu penduduk desa bermigrasi ke kota sekitar untuk mencari pekerjaan diluar pertanian dan pedesaan dan sebagian besar diantaranya adalah kelompok usia muda.

Padahal, potensi desa yang secara geografis tersebar dari pantai hingga pegunungan, dari daratan hingga kepulauan begitu besar. Bayangkan, jika setiap desa dikembangkan koperasi produksi dan jasa, maka sekurang-kurangnya terdapat 120.000 badan usaha bersama milik rakyat yang dikelola oleh masyarakat pedesaan.

Secara sosiologis, badan usaha pedesaan yang lebih cepat bisa dikembangkan tentusaja adalah koperasi, sebab modal sosial masyarakat pedesaan sangat memungkinkan badan usaha jenis ini.

Koperasi ini secara khusus pada tahap awal mengelola tanah untuk pertanian dan peternakan secara integratif, yang kemudian secara perlahan mengembangkan dirinya dalam industri pupuk organik, industri pengolah dan pemasaran.

Oleh karena itu, pembangunan badan usaha bersama milik pedesaan mestilah diawali dengan pembaruan agraria. Pembaruan agraria yang dimaksud adalah penataan struktur pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah dan air yang sebelumnya timpang menjadi lebih adil. Dengan sendirinya, sumber-sumber agraria yang sebelumnya dikuasai oleh korporasi maupun individu secara berlebihan ditata kembali sehingga memberi akses bagi petani gurem, tunakisma dan buruh tani untuk turut menikmati. Penataan ini tidak diarahkan pada membagi tanah kepada rumah tangga semata atau membagi tanah tanpa program dukungan untuk memproduktifkan tanah namun membagikan tanah untuk dijadikan badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa.

Pada akhirnya, memutar arah kiblat pembangunan ke desa tentu bukan pekerjaan mudah. Sebab proses pembangunan ekonomi selama ini telah menyumbangkan sebuah relasi yang timpang antara pertanian-industri serta desa-kota telah membias pada pandangan dan kebijakan ekonomi politik dan hokum yang ada. Hanya saja, 60 persen penduduk Indonesia masih bekerja dan menetap di desa, kebijakan mestila berpihak kepada wong ndeso ini.

Jakarta, 18 Mei 2007


[1]Adalah Kordinator Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tinggal di Jakarta.