Oleh Iwan Nurdin
Kepentingan Umum menurut UUPA terkait fungsi sosial hak atas tanah .seperti disebut dalam pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam penjelasannya diuraikan: Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Selanjutnya, kepentingan umum secara eksplisit juga disebutkan didalam UUPA:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7).
Pasal ini dijabarkan kedalam pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Penjelasan pasal 17: Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebutselanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.
Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.
Catatan:Pelaksanaan pasal 7 dan pasal 17 ini kemudian yang melahirkan peraturan-peraturan terkait dengan pelaksanaan land reform pada masa itu. Jadi: fungsi sosial dalam kerangka kepentingan umum atas tanah dimaksudkan untuk menciptakan keadilan social melalui reforma agraria
Selanjutnya, Kepentingan Umum juga secara eksplisit disebutkan di dalam pasal 18: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Penjelasan: Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.
Pelaksanaan dari pasal ini melahirkan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di Atasnya.
Kepentingan Umum menurut UUPA terkait fungsi sosial hak atas tanah .seperti disebut dalam pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam penjelasannya diuraikan: Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Selanjutnya, kepentingan umum secara eksplisit juga disebutkan didalam UUPA:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7).
Pasal ini dijabarkan kedalam pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Penjelasan pasal 17: Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebutselanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.
Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.
Catatan:Pelaksanaan pasal 7 dan pasal 17 ini kemudian yang melahirkan peraturan-peraturan terkait dengan pelaksanaan land reform pada masa itu. Jadi: fungsi sosial dalam kerangka kepentingan umum atas tanah dimaksudkan untuk menciptakan keadilan social melalui reforma agraria
Selanjutnya, Kepentingan Umum juga secara eksplisit disebutkan di dalam pasal 18: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Penjelasan: Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.
Pelaksanaan dari pasal ini melahirkan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di Atasnya.