Oleh: Iwan Nurdin
KONFLIK agraria belum juga menemukan jalan penyelesaian. Dalam empat bulan pertama tahun ini 11 petani tewas, 44 orang luka-luka, ratusan rumah dan tanaman rusak karena konflik agraria.
Biasanya, setelah jatuh korban, aspek pidana dari konflik segera ditindaklanjuti. Namun, akar masalah berupa konflik agraria tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Sehingga, setiap saat letupan konflik masih ada.
Di negara kita, selain peradilan umum tidak ada institusi khusus yang dapat menyelesaikan konflik agraria. Padahal, konflik agraria yang tengah terjadi sekarang sebagian besar adalah peninggalan masa Orde Baru yang represif yang ditopang oleh sistem administrasi pertanahan yang buruk.
Itulah sebabnya, dalam kasus-kasus yang ada, pengadilan seolah hanya diminati para pengusaha. Sementara masyarakat lebih memilih melaporkannya kepada Presiden, Satgas Mafia Hukum, DPR, Komnas HAM, dan sebagainya. Alasannya, dokumen agraria yang dimiliki masyarakat sebelum akuisisi tanah kerap tidak berguna di peradilan. Padahal, di masa lalu pemalsuan dokumen dan pemaksaaan lumrah terjadi dalam proses peralihan tanah.
Menjembatani hal ini, Komnas HAM bersama sejumlah LSM pada 2003 mengusulkan kepada pemerintah membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Sebuah badan ad hoc yang bertugas sementara dalam menyelesaikan sengketa agraria masa lalu.
Bersamaan dengan dibentuk KNuPKA juga diusulkan kepada pemerintah untuk segera menjalankan Reforma Agraria Nasional untuk menciptakan struktur agraria yang adil sesuai perintah UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun, pemerintah SBY mengikuti usulan ini dengan memakai rute lain. Presiden lebih memilih memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah.
Pelibatan Masyarakat
Setelah lima tahun berjalan, tampaknya penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural dengan prinsip keadilan sosial belum sukses dilaksanakan. Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi: (1) Lemahnya kewenangan dalam kedeputian dalam menyelesaikan konflik agraria; (2) Belum ada langkah terobosan dan cara pandang dalam menyelesaikan konflik agraria; (3) Belum dilibatkannya partisipasi masyarakat dan kelembagaan lain untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
Konflik agraria memang memiliki dimensi sosial yang luas dan mencakup tugas dan fungsi berbagai lintas kementerian dan kelembagaan. Sebab, sengketa dan konflik agraria terjadi pada wilayah perumahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir kelautan. Dengan begitu, pemangku kepentingan menjadi sangat banyak dan luas.
Anehnya, selain pada BPN, di tubuh pemerintah belum ada yang secara khusus bertugas mengkaji dan menyelesaikan sengketa terkait agraria. Oleh sebab itu, kita berharap kepeloporan BPN dalam menyelesaikan sengketa agraria yang masuk dalam kewenangan langsung badan ini dalam membangun mekanisme Alternative Dispute Resolutions (ADR).
Memang, lemahnya kewenangan dalam menyelesaikan sengketa agraria kerap menjadi kendala utama dalam lingkungan BPN. Tetapi, hemat penulis kondisi ini bisa menjadi kekuatan jika pandangan dan tindakan bersifat out of the box alias keluar dari pakem yang biasa dijalankan BPN. Salah satu langkah yang patut dilakukan adalah pelibatan masyarakat sipil seperti NGO atau Ormas petani dalam melakukan identifikasi persoalan dan langkah solusi khususnya dari perspektif korban.
Selain itu, lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapatkan laporan masyarakat terkait konflik agraria seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman, Satgas Antimafia Hukum, Komisi Informasi Publik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut disinergikan dalam satu langkah bersama untuk membangun trust dari publik dan transparansi internal.
Selanjutnya, perlu juga pelibatan asosiasi-asosiasi pengusaha, khususnya perkebunan, kehutanan, dan pertambangan untuk diajak dalam membangun satu perspektif bersama demi penyelesaian sengketa. Sebab, banyaknya konflik agraria, selain berbiaya mahal, tentu bisa dijadikan bahan kampanye negatif terhadap produk perusahaan tersebut di pasar internasional. Keterlibatan aktor ini penting untuk mengarusutamakan penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang menekankan win-win solution, berkeadilan sosial dan jangka panjang.
Terakhir, pemerintah harus memperluas program pelaksanaan pembaruan agraria, khususnya redistribusi tanah kepada rakyat miskin (pro-poor agraria reform) dan akses reform berupa kredit murah, infrastruktur, pendampingan dan perlindungan pasar. Sesungguhnya ini jawaban utama dalam menghentikan ketimpangan struktur agraria nasional. Bukankah ketimpangan tersebut adalah akar konflik agraria? n
Jurnal Nasional | Sabtu, 28 May 2011
Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta
KONFLIK agraria belum juga menemukan jalan penyelesaian. Dalam empat bulan pertama tahun ini 11 petani tewas, 44 orang luka-luka, ratusan rumah dan tanaman rusak karena konflik agraria.
Biasanya, setelah jatuh korban, aspek pidana dari konflik segera ditindaklanjuti. Namun, akar masalah berupa konflik agraria tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Sehingga, setiap saat letupan konflik masih ada.
Di negara kita, selain peradilan umum tidak ada institusi khusus yang dapat menyelesaikan konflik agraria. Padahal, konflik agraria yang tengah terjadi sekarang sebagian besar adalah peninggalan masa Orde Baru yang represif yang ditopang oleh sistem administrasi pertanahan yang buruk.
Itulah sebabnya, dalam kasus-kasus yang ada, pengadilan seolah hanya diminati para pengusaha. Sementara masyarakat lebih memilih melaporkannya kepada Presiden, Satgas Mafia Hukum, DPR, Komnas HAM, dan sebagainya. Alasannya, dokumen agraria yang dimiliki masyarakat sebelum akuisisi tanah kerap tidak berguna di peradilan. Padahal, di masa lalu pemalsuan dokumen dan pemaksaaan lumrah terjadi dalam proses peralihan tanah.
Menjembatani hal ini, Komnas HAM bersama sejumlah LSM pada 2003 mengusulkan kepada pemerintah membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Sebuah badan ad hoc yang bertugas sementara dalam menyelesaikan sengketa agraria masa lalu.
Bersamaan dengan dibentuk KNuPKA juga diusulkan kepada pemerintah untuk segera menjalankan Reforma Agraria Nasional untuk menciptakan struktur agraria yang adil sesuai perintah UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun, pemerintah SBY mengikuti usulan ini dengan memakai rute lain. Presiden lebih memilih memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah.
Pelibatan Masyarakat
Setelah lima tahun berjalan, tampaknya penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural dengan prinsip keadilan sosial belum sukses dilaksanakan. Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi: (1) Lemahnya kewenangan dalam kedeputian dalam menyelesaikan konflik agraria; (2) Belum ada langkah terobosan dan cara pandang dalam menyelesaikan konflik agraria; (3) Belum dilibatkannya partisipasi masyarakat dan kelembagaan lain untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
Konflik agraria memang memiliki dimensi sosial yang luas dan mencakup tugas dan fungsi berbagai lintas kementerian dan kelembagaan. Sebab, sengketa dan konflik agraria terjadi pada wilayah perumahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir kelautan. Dengan begitu, pemangku kepentingan menjadi sangat banyak dan luas.
Anehnya, selain pada BPN, di tubuh pemerintah belum ada yang secara khusus bertugas mengkaji dan menyelesaikan sengketa terkait agraria. Oleh sebab itu, kita berharap kepeloporan BPN dalam menyelesaikan sengketa agraria yang masuk dalam kewenangan langsung badan ini dalam membangun mekanisme Alternative Dispute Resolutions (ADR).
Memang, lemahnya kewenangan dalam menyelesaikan sengketa agraria kerap menjadi kendala utama dalam lingkungan BPN. Tetapi, hemat penulis kondisi ini bisa menjadi kekuatan jika pandangan dan tindakan bersifat out of the box alias keluar dari pakem yang biasa dijalankan BPN. Salah satu langkah yang patut dilakukan adalah pelibatan masyarakat sipil seperti NGO atau Ormas petani dalam melakukan identifikasi persoalan dan langkah solusi khususnya dari perspektif korban.
Selain itu, lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapatkan laporan masyarakat terkait konflik agraria seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman, Satgas Antimafia Hukum, Komisi Informasi Publik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut disinergikan dalam satu langkah bersama untuk membangun trust dari publik dan transparansi internal.
Selanjutnya, perlu juga pelibatan asosiasi-asosiasi pengusaha, khususnya perkebunan, kehutanan, dan pertambangan untuk diajak dalam membangun satu perspektif bersama demi penyelesaian sengketa. Sebab, banyaknya konflik agraria, selain berbiaya mahal, tentu bisa dijadikan bahan kampanye negatif terhadap produk perusahaan tersebut di pasar internasional. Keterlibatan aktor ini penting untuk mengarusutamakan penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang menekankan win-win solution, berkeadilan sosial dan jangka panjang.
Terakhir, pemerintah harus memperluas program pelaksanaan pembaruan agraria, khususnya redistribusi tanah kepada rakyat miskin (pro-poor agraria reform) dan akses reform berupa kredit murah, infrastruktur, pendampingan dan perlindungan pasar. Sesungguhnya ini jawaban utama dalam menghentikan ketimpangan struktur agraria nasional. Bukankah ketimpangan tersebut adalah akar konflik agraria? n
Jurnal Nasional | Sabtu, 28 May 2011
Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta