February 2, 2011

Konflik Agraria di Deli Serdang Sumatera Utara


Jum'at, 28 Januari 2011 , 04:04:00Bentrok di Deliserdang, KPA Tak Kaget

JAKARTA -- Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tidak kaget mendengar bentrok antara warga dengan pihak PTPN II di kebun Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Deliserdang. Pasalnya, menurut Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin, konflik itu merupakan konflik laten yang sudah sering terjadi.

"Konflik PTPN II dengan Masyarakat Adat dan Petani yang tergabung dalam BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) adalah konflik lama yang belum diselesaikan oleh pemerintah. Wilayah sengketa tanah di Kabupaten Deli Serdang, yang kerap pecah konflik adalah Tanjuung Morawa dan Persut Sei Tuan," ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (27/1).

Iwan mengidentifikasi, beberapa sumber konflik laten ini. Pertama, tanah-tanah lebih banyak dikuasai oleh perkebunan baik PTPN ataupun Swasta sementara masyarakat banyak khususnya petani tidak mendapatkan tanah yang cukup untuk pertanian dan perkebunan.

Kedua, sebagian besar manejemen Perkebunan Negara buruk dan banyak korupsi, akibat tidak kelola dengan benar, perusahaan banyak melakukan penelantaran tanah. "Tentu hal ini sangat menyakitkan masyarakat, sebab di tengah masyarakat kekurangan lahan perkebunan justru menelantarkan tanah. Banyak areal yang terlantar tersebut akhirnya dikelola oleh masyarakat untuk ditanami," terangnya.

Dijelaskan, penelantaran tanah sebenarnya melanggar hukum UUPA 1960, namun pemda dan BPN seakan membiarkan penelantaran tanah tersebut dan tidak pernah menyatakan tanah tersebut terlantar untuk dapat dibagikan kepada masyarakat penggarap.

Ketiga, menurut Iwan, anehnya di atas tanah-tanah yang sedang bermasalah tersebut HGU tetap diperpanjang oleh BPN-RI. Sesuatu yang melanggar PP 40/1996 tentang Hak Guna Usaha jadi terjadi keanehan HGU bisa terbit di atas tanah sengketa. Karena sudah bersertifikat, dengan mudah perusahaan perkebunan bisa memanggil kepolisian atas nama UU No. 18/2004 tentang Perkebunan karena bisa didenda Rp 5 M atau pidana kurungan sesuai dengan pasal 21 atau 47 UU Perkebunan.

"Hukum yang keras tentu tidak menyurutkan rakyat melakukan perlawanan atas dasar hak atas tanah sebagai warga Negara ataupun atas dasar klaim kepemilikan mereka di masa lalu. Dengan demikian, konflik terus menerus berlanjut," ucapnya.

Iwan mengatakan, jika dikembalikan kepada hokum positif yang berlaku, maka konflik diselesaikan tanpa menyentuh rasa keadilan rakyat. KPA mengusulkan, solusi awalnya adalah agar Pemerintah, BPN-RI, BPRPI dan PTPN II duduk kembali untuk sebagai para pihak yang bersengketa dengan mediator yang disepakati. "Tujuannya selain mengakui dan mengembalikan hak-hak masyarakat penunggu (BPRPI) atas tanah-tanah mereka sesuai dengan pembaruan agrarian yang sudah diamanatkan oleh presiden melalui PPAN (program pembaruan agrarian nasional). Mendesain kebijakan perkebunan yang baru dimana partisipasi masyarakat bisa dilibatkan," bebernya.

Lebih lanjut Iwan mensinyalir, banyak areal perkebunan Negara di Sumut tidak sesuai antara areal HGU-nya dengan luas lahan yang ada di lapangan. Di sertifikat HGU misalnya hanya 2000, kebun bisa 3000 hektar. "Ini tidak semata-mata merugikan Negara dalam hal pajak, namun juga soal korupsi di dalam perkebunan," ucapnya. Karenanya, dia meminta PTPN II untuk membuka sertifikat HGU-nya, sehingga bisa diketahui apakah lahan yang disengketakan itu benar-benar masuk area yang ada di HGU.

Dia menduga, ketidaktransparannya PTPN II membuka berapa area di HGU yang sebenarnya, mendapat back up dari pemda maupun politisi setempat. "Keadaan ini banyak didiamkan karena perkebunan Negara adalah sapi perah bagi pejabat Negara, aparat hukum hingga partai politik," cetus Iwan. Disebutkan pula, banyak tukar guling areal eks perkebunan untuk menjadi areal komersil non perkebunan, juga tidak melalui proses hukum yang benar.

"Untuk menghentikan hal tersebut, harus dilakukan audit atas HGU-HGU di perkebunan Negara maupun swasta," ujarnya. Yang lebih penting lagi, dokumen HGU harus dapat diakses oleh publik, karena pada dasarnya HGU adalah tanah Negara yang disewakan kepada perusahaan. Oleh sebab itu, Komisi Nasional Informasi Publik kedepan harus menyatakan bahwa dokumen HGU adalah dokumen publik.

Iwan juga membeberkan sejarah sengketa perkebunan di Sumut dengan BPRPI. Dalam sejarahnya, tanah-tanah perkebunan Negara di Sumut berasal dari tanah-tanah konsesi dengan pihak kesultanan yang disewa oleh perusahaan belanda pada masa penjajahan. Kebun-kebun tersebut banyak ditanami dengan tembakau deli yang sangat terkenal di dunia.

Namun, lanjutnya, tanah-tanah tersebut sesungguhnya adalah tanah-tanah milik masyarakat adat, dan mereka tetap bisa menanami tanah tersebut dengan bergantian dengan tanaman tembakau khususnya saat tanah diistirahatkan perusahaan perkebunan.

Pada masa Jepang, perkebunan terbengkalai dan pemerintah Jepang meminta masyarakat menanam tanaman pangan untuk kebutuhan perang. Keadaan ini berlanjut hingga zaman revolusi kemerdekaan. Para petani dan masyarakat adat inilah yang menyediakan pangan bagi tentara pejuang.

Namun, sesuai dengan perjanjian KMB, perkebunan tersebut dikembalikan kepada pemilik lama (perusahaan belanda) sehingga rakyat yang menduduki perkebunan kembali keluar dari lahan. Meski pahit, perintah dari pemimpin diikuti oleh rakyat. Namun, hasil-hasil KMB dibatalkan oleh pemerintah pusat sejak Belanda mengulur ulur waktu soal Irian Jaya.

"Karena itu, kebun-kebun swasta Belanda tersebut di nasionalisasi oleh pemerintah dan dijadikan cikal bakal perusahaan perkebunan Negara (PTPN)," ulasnya. Menurut UUPA, hak-hak barat atas tanah dalam perkebunan (erpacht) harus dikonversi menjadi HGU selambat-lambatnya 20 tahun sejak 1960 (UUPA diundangkan). Artinya, pada tahun 1980 semua problem hak-hak barat sudah diselesaikan.

Pada saat mengundangkan UUPA 1960, pemerintah saat itu menyadari bahwa tanah-tanah perkebunan Belanda dahulunya bisa berdiri di atas perampasan tanah-tanah masyarakat. "Oleh sebab itu, sebagian akan dikembalikan kepada rakyat," pungkas Iwan. (sam/jpnn)

No comments: