September 28, 2010

Aksi Hari Tani di Depan Istana 2010


Lebih dari 2000 petani yang tergabung dalam Panitia Peringatan Hari Tani Nasional yang diprakarsai Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), dan didukung oleh berbagai Ormas lainya dari mahasiswa, buruh, pemuda dan beberapa LSM menggelar peringatan hari tani 2010 dengan menggelar aksi massa di Istana Merdeka, Jum’at (24/9).

Para petani ini datang dari sejumlah daerah khususnya Jawa Barat dan Banten sejak dini hari dan beristirahat di Masjid Istiqlal. Massa aksi bergerak pada jam 09.00 itu bergerak dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara di Jakarta dan berlangsung tertib dan lancar. Berbagai spanduk berisi tuntutan dan kritik menghiasi sepanjang perjalanan, para orator bergantian memberikan semangat kepada massa aksi sekaligus mengkritik berbagai kebijakan agraria nasional yang lebih berpihak kepada pemodal.

Sebagaimana salah satu orasi yang disampaikan oleh Iwan Nurdin dari KPA yang menegaskan bahwa “Sesungguhnya Presiden SBY dan jajaranya tidak pernah serius menjalankan amanat UUPA 1960, bahkan sikap acuhnya itu berbarengan dengan tindakan politik yang selalu berusaha mengakomodir kepentingan para investor, buktinya saat ini pemerintah sedang menyiapkan secara serius RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. UU ini akan semakin memudahkan penggusuran kepada petani, nelayan dan masyarakat adat” tegas Iwan dihadapan ribuan kaum tani yang berbaris rapi di depan Istana.

Oleh sebab itu, salah satu tuntutan dalam peringatan hari tani tahun ini yang peling keras disuarakan oleh petani dan masyarakat sipil lainnya adalah menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan.

September 23, 2010

Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi

Oleh Idham Arsyad

Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.

Aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar Pokok Agraria (UUPA).

Kelahiran UUPA menandai era baru sistem hukum dan politik agraria nasional yang menggantikan sistem hukum dan politik agraria kolonial. UUPA datang dengan semangat zaman untuk merombak tatanan politik agraria kolonial. Politik agraria kolonial adalah sebuah politik agraria yang mengabdi bagi kepentingan partikelir asing atau pemodal raksasa dengan mengorbankan rakyat tani di Indonesia.

”Guremisasi”

Di atas politik agraria kolonial, keadaan petani menjadi sengsara, miskin, dan kelaparan. Sebab, hukum yang lahir dari politik agraria kolonial ini mengakibatkan pertanian rakyat tergusur oleh perkebunan. Untuk mendapatkan keuntungan dan tenaga kerja yang banyak dan murah, perkebunan selalu menyasar tanah-tanah yang subur dan padat penduduknya. Rakyat yang kehilangan tanahnya tidak ada pilihan kecuali menjual tenaganya hanya untuk mempertahankan hidup.

Sampai saat ini, penerapan politik agraria kolonial mengakibatkan meningkatnya persentase petani berlahan sempit dan petani tak bertanah. Tauhid (1952) menunjukkan penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada tahun 1938 rata-rata 0,84 hektar. Khusus di Jawa, keluarga yang punya tanah kurang dari sepertiga hektar mencapai 70 persen, sedangkan keluarga yang punya tanah lebih dari 5 hektar hanya 0,5 persen.

Ironisnya, penguasaan tanah pada masa kolonial ini tidak banyak berubah setelah kemerdekaan. Sensus pertanian dari tahun 1963 hingga 2003 memperlihatkan rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus yang lain relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 dan 1,05 hektar.

Sementara itu di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar. (Bachriadi & Wiradi; 2009)

Penghentian program reforma agraria (land reform) akibat pergantian rezim menjadi salah satu faktor penyebab ”guremisasi” sampai saat ini masih bertahan. Bachriadi & Wiradi (2009) menunjukkan bahwa pelaksanaan reforma agraria pada masa Soekarno membawa perubahan dalam rata-rata kepemilikan tanah, yang meningkat 1,05 hektar setiap keluarga petani. Namun, selama Orde Baru, rata-rata penguasaan tanah oleh petani tidak pernah di atas 1 hektar, sedangkan jumlah petani tak bertanah dan buruh pertanian terus bertambah.

Reforma agraria

Meningkatnya angka petani berlahan sempit dan petani tak bertanah semestinya menjadi peringatan untuk dijalankannya program reforma agraria. Tanpa pembaruan agraria, maka akar kemiskinan, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, akan sulit diatasi dan kesejahteraan petani hanya mimpi.

Harus diyakini bahwa kemiskinan adalah akibat, dan penyebabnya adalah kapitalisme agraria. Beroperasinya mesin-mesin kapitalisme di lapangan agraria yang mengakibatkan ketimpangan membawa pada ketidakstabilan sosial-ekonomi. Meningkatnya persentase petani gurem dan petani tak bertanah merupakan gambaran buruknya ekonomi negara, khususnya negara yang mengandalkan sektor pertanian. Kepemilikan lahan yang sempit menyebabkan petani mencari makan di sektor lain. Hal ini menjadikan pertanian sebagai pekerjaan tidak pokok yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas pertanian yang rendah.

Sejumlah pakar juga mengingatkan bahwa kondisi petani tak bertanah bisa berkontribusi pada erosi dan deforestasi besar-besaran. Kondisinya yang tidak mempunyai tanah bisa mendorong untuk masuk bertanam di wilayah hutan yang tidak boleh dikonversi karena fungsi lingkungannya. (Barraaclough dan Ghimire; 1995/2000).

Adalah mustahil mencapai kesejahteraan petani tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, yang mengakibatkan petani berlahan sempit dan tidak punya lahan.

Ketimpangan penguasaan struktur agraria hanya bisa diatasi dengan kebijakan politik restrukturisasi penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan sumber daya alam. Kebijakan itu harus mencakup pengaturan dan penertiban semua sektor-sektor agraria.

Tidak hanya di pertanahan, tetapi juga di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, tindakan ini disebut sebagai reforma agraria.

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjalankan reforma agraria pada awal tahun 2007 saatnya untuk direalisasikan. Pada saat itu, Presiden menjanjikan akan melakukan sertifikasi dan redistribusi lahan seluas 9,25 juta hektar yang dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, khususnya di pedesaan.

Untuk menyambungkan dengan konteks persoalan ketimpangan struktur agraria sebagai persoalan pokok yang kita hadapi, maka redistribusi harus diluaskan maknanya menjadi program reforma agraria yang komprehensif.

Dalam hal ini, tanah yang akan diredistribusi sebagai obyek reforma agraria tidak hanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi juga mencakup tanah yang dikuasai secara monopolistik, baik oleh negara maupun swasta, baik individu maupun badan usaha.

Untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta dan badan usaha yang izinnya diperoleh semasa kebijakan politik agraria kapitalistik di era Soeharto seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan Kuasa Pertambangan (KP) hendaknya dijadikan obyek reforma agraria setelah penguasaannya dialihkan statusnya menjadi tanah negara untuk diredistribusi kepada rakyat.

Selain itu, penetapan obyek reforma agraria juga harus menyertakan tanah telantar, khususnya tanah perkebunan yang tidak aktif lagi dan tanah-tanah lainnya yang telah diambil untuk sejumlah proyek pembangunan, tetapi hanya digunakan sebagai obyek spekulasi, dan juga hamparan tanah perkebunan besar dan wilayah kehutanan yang telah diduduki oleh petani selama periode Orde Baru.

Janji reforma agraria Presiden Yudhoyono tetap harus ditagih. Bukan hanya karena janji adalah utang sehingga harus ditepati, tetapi reforma agraria menjadi satu-satunya jalan untuk mengatasi sejumlah tumpukan persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini, misalnya kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan.

Idham Arsyad Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
Dikutip dari Harian Kompas, 23 September 2010

September 22, 2010

Setengah Abad UUPA 1960


UUPA 1960 tahun ini genap berusia setengah abad. Selama ini, Undang-Undang yang disahkan presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1960 tersebut diberlakukan setengah hati dan penuh penyelewengan oleh pemerintah.  Padahal, awalnya kelahiran UUPA 1960 sempat dianggap sebagai terbitnya mentari kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, produk hukum nasional ini sangat jelas keberpihakannya kepada buruh tani, petani kecil, golongan ekonomi lemah untuk mendorong lahirnya badan usaha ekonomi rakyat berupa koperasi dalam rangka membangun relasi pertanian dan industri nasional yang kokoh sehingga tercipta modal nasional yang progresif. Semua hal tersebut, menurut UUPA track yang tepat untuk koridor menciptakan masyarakat Indonesia yang berkeadilan social alias sosialisme a la Indonesia.
Namun, halangan dan rintangan pelaksanaan UUPA 1960 demikian besar. Semasa Orde Lama, kelompok kontra reform atau kelompok anti pembaruan agrarian berhasil mengalienasi program pembaruan agrarian seolah-olah hanya program kelompok komunis bukan program nasional kebangsaan. Akhirnya setelah runtuhnya rezim Orde Lama program ini menjadi momok serius bagi pemerintah.

Setelah Orde Baru berkuasa penyelewengan besar-besaran terhadap UUPA dimulai. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini dengan model kapitalisme birokratik rente. Sebuah pola pembangunan masyarakat yang menggabungkan modernisme yang tentu saja a-historis secara sosial, developmentalism yang pro-kapital besar plus otoritarianisme yang menghilangkan demokrasi dan inisiatif rakyat hingga level terendah.Penyelewengan tersebut adalah tersebut adalah dilahirkannya UU yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumber-sumber agraria seperti kehutanan, kelautan dan pertambangan. Sumber ego sektoralisme birokrasi dihari ini.

Peluang UUPA1960 dan program pembaruan agrarian untuk tampil di pentas kebijakan nasional kembali terangkat setelah kejatuhan Orde Baru pada 1998. Namun, seperti diketahui, gelombang demokratisasi politik yang datang datang ke Indonesia diawali dan disebabkan dengan krisis ekonomi. Sehingga, arus demokrasi yang datang tersebut berpasangan dengan reformasi ekonomi nasional. Padahal, sejak awal, reformasi ekonomi nasional yang diterapkan mengacu pada letter of intent antara Indonesia dan IMF. Isi kesepakatan tersebut tiada lain adalah paket program Structural Adjusment Programs (SAPs) yakni program penyesuaian struktur ekonomi nasional kedalam struktur ekonomi neoliberal. Tentusaja, program-program  tersebut sangat jauh dari semangat dan tujuan ekonomi nasional seperti yang dicita-citakan UUPA 1960.

Akhirnya, desakan paket SAPs dan revitalisasi kelompok birokrat rente telah membuat sektoralisme sumber-sumber agraria kembali menguat di masa reformasi. Sepanjang reformasi justru masa subur bagi kelahiran UU yang semakin mengokohkan semangat sektoralisme dalam mengurus agraria. Praktek sektoralisme tersebut  telah mempertahankan rantai birokrasi pemburu rente di tubuh negara (eksekutif dan legislative) serta privatisasi  terhadap sumber-sumber agrarian seperti hutan, air, tambang, perkebunan, pesisir, kelautan dan pulau-pulau kecil kepada pemodal besar baik domestik maupun asing.

Demikianlah, tantangan pelaksanaan pembaruan agrarian setelah limapuluh tahun pengundangan UUPA semakin kompleks.

September 3, 2010

Yang Bertahan dan Tumbuh Menjalar

Oleh Iwan Nurdin
Pendahuluan

Buku karya M. Tauchid yang sekarang hadir ditangan pembaca, sebenarnya telah lama menjadi semacam kitab utama bagi kalangan pelaku gerakan Reforma Agraria di Indonesia era 80-an dan 90-an. Ia menjadi ibu bagi lahirnya buku-buku lanjutan yang ditulis para penganjur dan pelaku gerakan Reforma Agraria mulai dari tingkat pemula hingga paling terkemuka di Indonesia hari ini.

Umumnya terjadi pada masa 80-an, disaat konflik agraria akibat pembangunan satu demi satu mulai muncul dengan cepat diberbagai wilayah pada satu sisi, dan stigma negatif pada gerakan yang mengadvokasi petani korban konflik agraria oleh rezim Orde Baru pada sisi yang lain. Pada masa itu, kebutuhan mendapatkan teks sejarah yang bisa membantu melepaskan stigma tersebut sekaligus membantu menjelaskan situasi konflik agraria sebagai buah dari kebijakan politik agraria masa lampau yang belum pernah terselesaikan oleh pemerintah sangat diperlukan. Jadilah buku ini sebagai ilmu pengetahuan alternative paling lengkap yang dapat menjelaskan situasi persoalan agraria pada masa kolonial dan awal kemerdekaan yang dihadapi Indonesia.

Pada masa itu, di tengah zaman gelap pengetahuan, data-data yang ditampilkan, analisa, dan deskripsi yang digambarkan  M. Tauchid ini begitu mencengangkan para aktivis, sebab betapa struktur agraria dan kebijakan politik agraria nasional Orde Baru tidak mengalami perubahan orientasi yang berarti sejak era kolonial.

Jadilah buku ini memberi basis argumentasi awal yang paling menolong para mahasiswa, sarjana, aktivis tani dan masyarakat adat dalam mendorong perjuangan pembaruan agraria di Indonesia. Dengan ketelitian yang tinggi, penulis buku ini memberikan gambaran tentang struktur agraria warisan kolonial sekaligus memberi petunjuk bagi perombakan struktur agraria melalui gerakan pembaruan agraria.

Keadaan yang Bertahan
 Kesimpulan terpenting yang didapatkan buku ini adalah, bahwa penjajahan di Indonesia akan tergambarkan secara utuh jika kita memahami kebijakan politik agrariaya. Dengan membaca buku ini halaman demi halaman kita akan tertegun, sebab politik agraria warisan era kolonial sesungguhnya secara praktek tetap dipertahankan setelah kita merdeka.

Secara mudah, arah politik agraria dapat dilihat dari aneka produk hukum yang dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia Belanda.

Agrarische Wet (AW.1870) telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan pertanian di lapangan agraria Indonesia. Serangkaian hak atas sumber-sumber agraria diimbuhkan secara lengkap kepada kaum pengusaha yang ingin menguasai tanah-tanah di Indonesia. Sementara, kaum bumiputera hidup dalam ketiadaan perlindungan atas sumber-sumber agrariaya melalui azas domeinverklaring. Sementara di sisi lainnya, hak-hak adat masyarakat atas tanah dilekatkan sedemikian rupa kepada kelompok-kelompok feodal. Jadilah rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dirinya.

Secara ekonomi politik, M. Tauhid menggambarkan bahwa dualisme hukum agraria yang diterapkan oleh Agrarische Wet 1870 sebagai sebuah usaha memuluskan penetrasi dan akumulasi kapitalisme agraria di satu sisi, serta proses menyiapkan secara sistematis suplai buruh dari masyarakat pedesaan yang berwatak borjuasi kecil sekaligus juga dari masyarakat pedesaan yang masih hidup dalam corak feodalisme secara bersamaan kedalam industri perkebunan yang masuk ke Hindia Belanda.

Apakah situasi ini masih bertahan? Disinilah kekuatan sebenarnya dari buku ini yang acapkali disebut kalangan aktivis sebagai ibu pembuka bagi lahirnya analisa lanjutan keadaan agraria nasional hingga masa sekarang.

Marilah kita lihat data agraria Indonesia secara berurutan dalam 20 tahun terakhir. Hasil Sensus Pertanian 1983, rata-rata penguasaan tanah untuk setiap Rumah Tangga Petani (RTP) adalah 0.98 Ha. Sementara di dalamnya, khusus di pulau Jawa 0.58 Ha dan 1.58 Ha diluar Jawa. Kenyataan tersebut semakin parah dalam satu dekade berikutnya. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun 1993, pemilikan rata-rata menjadi 0.83 Ha untuk setiap Rumah Tangga Petani dan di dalamnya adalah rata-rata 0.47 Ha untuk Jawa dan 1.27 Ha untuk di luar Jawa .

Dalam realitas kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut diatas, jumlah petani gurem (dengan kepemilikan tanah kurang atau sama dengan 0.20 Ha) terus bertambah. Pada tahun 1983 jumlah petani gurem sebesar 9.532.000 dan menjadi 10.937.000 pada tahun 1993 . tekanan masalah diatas telah menambah semakin banyaknya Rumah Tangga Petani yang menjadi buruh tani atau petani tak bertanah. Selanjutnya, hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah petani gurem telah menjadi 13,7 juta KK pada tahun 2003 .

Dalam wilayah kehutanan, sampai dengan Desember 2003, terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah tidak dapat lagi dimanfaatkan, sebagian besar diajukan untuk dilepaskan dari kawasan hutan untuk dijadikan areal perkebunan besar  ketimbang dihijaukan kembali. Sampai dengan tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan kepada 503 unit usaha untuk dengan luas 4,682 juta hektar (Badan Planologi Kehutanan 2004).

Inilah awan hitam dan gelap yang masih bertahan, sebuah mega politik agraria yang masih saja mengalokasikan tanah-tanah pada usaha skala besar ketimbang rakyat. Sebuah keadaan yang tetap bertahan meski telah mengecap udara kemerdekaan.

Sesuatu yang tumbuh dan menjalar kembali 
Pembaruan agraria di Indonesia adalah usaha kebangsaan yang telah menjadi agenda nasional setelah disyahkannya UUPA 1960. Tujuan pembaruan agraria ini tiada lain adalah merombak struktur agraria nasional warisan kolonial sekaligus menyusun dasar bagi usaha pembangunan nasional. Sayangnya, agenda ini semakin menghilang sekaligus dimusuhi seiring berkuasanya Orde Baru.

Meski menghilang dalam pusaran politik nasional, dalam agenda internasional, pembaruan agraria tidaklah menghilang. Ia semakin hidup dan tetap eksis. Bahkan hingga hari ini. Terbukti, pada tanggal 07-11 Maret 2006, bertempat di Porto Alegre, Brazil, FAO mengadakan sebuah International Conference on Agraria Reform an Rural Development (ICARRD). Dalam deklarasi akhir konferensi ini, yang juga dihadiri oleh Indonesia sebagai delegasi, para peserta menyadari bahwa pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan program agraria reform atau pembaruan agraria.

Sebelumnya, pada Juli 1979 di Roma, disaat sebagian besar dunia berkembang sedang terkagum-kagum melihat perkembangan revolusi hijau dalam bingkai developmentalism,  FAO mengadakan World Conference on Agraria Reform and Rural Development (WCARRD), hasil dari konferensi tersebut yang kemudian tertuang dalam Peasants Charter menegaskan bahwa tanpa pembaruan agraria (agraria reform)hampir mustahil bagi sebuah negara bangsa dapat berhasil menjalankan pembangunan dengan konsep pertumbuhan melalui pemerataan (growth through equity).

Konsep ini, sejalan dengan teori-teori ekonomi pembangunan. Bahkan, telah lama para sarjana mempercayai bahwa penataan secara adil sumber-sumber agraria adalah basis awal pembangunan yang sangat penting sekaligus penjamin keberhasilan bagi sebuah negara bangsa dalam melakukan proses pembangunannya. Studi-studi tersebut tidak melulu disimpulkan oleh kalangan sarjana yang mempunyai tendensi kiri sosialis, kalangan kanan yang sangat memuja mekanisme pasar pun berkesimpulan sama. Meski keduanya menyimpulkan kebutuhan yang sama, bukan berarti tujuan pembaruan agraria yang digagas oleh kedua golongan ini serupa tujuannya.

Serikat Tani
Usaha mendorong kembali dijalankannya pembaruan agraria tidak dapat dipisahkan dari keberadaan serikat tani yang kuat. Politik pelarangan berorganisasi bagi kaum tani diluar organisasi pemerintah yang disediakan telah membuat sumber energi utama yang mendorong pembaruan agraria mengalami krisis sepanjang Orde Baru. Namun, persemaian bibit bagi tumbuhnya gerakan tani tetaplah dilakukan. Inilah usaha menanam kembali organisasi tani yang terus tumbuh menjalar.

Mengamati keberadaan serikat tani pasca kejatuhan Soeharto, baik di level nasional maupun tidak dapat dilepaskan dari konflik agraria yang terjadi akibat kebijakan agraria pada masa Orde Baru hingga dewasa ini. Juga, keberadaan organisasi tani dewasa ini secara tidak langsung memiliki pertalian erat dan jaringan kerja dengan para aktivis kampus dan ornop yang turun mengadvokasi para petani korban.

Pertumbuhan terpenting dan paling awal dari organisasi tani ini banyak ditentukan oleh kemampuan para aktivis memetamorfosakan ketidakpuasan yang dialami oleh kaum tani  menjadi sebuah tali ikatan solidaritas. Ikatan solidaritas ini dibangun dari proses interaksi bersama para aktivis sekaligus upaya sistematis memanggil penderitaan yang dialami oleh rakyat kedalam sebuah konfrontasi tertentu. Konfrontasi inilah yang menimbulkan sebuah tali ikatan bersama organisasi tani. Sehingga, Gerakan Pembaruan Agraria/GPA hampir bisa dipastikan selalu diawali dari langkah kolektif dari sekumpulan orang-orang yang memiliki penderitaan sama melawan suatu bentuk rezim penguasaan tanah yang telah mengeksploitasi mereka secara langsung.

Maka, organisasi-organisasi tani pada tahap awal, hampir melulu menjadi sebuah organisasi yang berjuang melawan rezim perusahaan perkebunan, industri kehutanan atau proyek-proyek perluasan industri dan perkotaan. Pola perjuangannya adalah penyelesaian sengketa tanah yang mendera mereka.

Selanjutnya, lewat proses sistematis, usaha meluaskan jangkauan tangan gerakan tani dari sebuah organisasi tani yang menyelesaikan kasus yang mereka alami menjadi sebuah organisasi yang bersinergi dengan gerakan pembaruan agraria. Bahkan, isu pembaruan agraria nasional hari ini telah mendapatkan ruang yang pasti dalam sanubari organisasi kaum tani di level nasional dan lokal.

Saat ini, tercatat lebih dari lima organisasi petani yang merupakan representasi gerakan petani tingkat nasional. Sementara di wilayah-wilayah, situasi yang lebih cepat terus terjadi. Ratusan organisasi tani tingkat lokal dengan jumlah massa yang tidak sedikit juga terus muncul. Meski demikian, gerakan petani nasional hari ini  tetaplah sebuah gerakan petani tingkat lokal. Sebab, ciri pokok dari organisasi tani nasional dewasa ini adalah meneruskan rantai perjuangan dan persoalan yang dilempar keluar organisasi-organisasi tani di tingkat lokal. Jadi, organisasi nasional sementara ini adalah penerima input dari organisasi tani lokal dan minimal bekerja dengan cara-cara utama sbb: pertama, organisasi nasional berfungsi memperkeras suara-suara dan penderitaan yang dialami di lokal. Misalnya, problem-problem organisasi petani lokal dibawa dalam pentas nasional untuk diadvokasikan kepada titik-titik kekuasaan yang dapat mempengaruhi arah politik para penguasa lokal atau paling sedikit mengurangi derajat penindasan yang sedang dilakukan oleh penguasa lokal kepada gerakan tani di wilayah tersebut. Titik-titik kekuasaan tersebut misalnya Presiden, DPR, Komnas HAM, Mabes Polri, Kementerian terkait dst. Kedua, organisasi nasional membuatkan kerangka baru bagi gerakan pembaruan agraria di tingkat lokal. Misalnya, Organisasi nasional mendorong thema-thema perjuangan seperti kedaulatan pangan, pembaruan agraria sejati, demokrasi, desentralisasi. Ini adalah sebuah upaya membuat kerangka nasional sehingga menjadi pegangan bersama pada tingkat lokal. Ketiga,organisasi nasional adalah suatu bentuk koalisi nasional untuk memberikan dorongan bagi terciptanya suasana yang lebih kondusif bagi tumbuh kembangnya organisasi tani lokal. Upaya ini juga sekaligus mencegah sesuatu keadaan yang buruk yang dapat saja terjadi pada organisasi tani local. Usaha-usaha ini misalnya adalah mendorong lahirnya UU yang mendukung pembaruan agraria, menolak lahirnya UU anti pembaruan agraria, memasukkan isu pembaruan agraria sebagai bagian dari kampanye pemilihan presiden hingga pemerintahan lokal.

Sementara itu, fungsi organisasi petani lokal terhadap organisasi nasional adalah: pertama, organisasi tani lokal menjadi sumber legitimasi terhadap manuver-manuver dan lemparan isu di level nasional yang dilakukan oleh organisasi nasional. Sebab, manuver ini dilakukan dengan basis konstituen yang jelas. Kedua, organisasi tani lokal adalah pemberi inspirasi pada bentuk dan praktek pembaruan agraria pada tingkat nasional. Contohnya adalah bagaimana gerakan-gerakan di lokal mengambil kepemimpinan desa pada pemilu kades. Juga, kesalahan di tingkat lokal dapat pula menjadi satu inspirasi dan dipelajari bagi organisasi nasional misalnya penyakit individualisasi setelah proses reklaiming, menurunnya semangat berorganisasi setelah penyelesaian sengketa dll.

Dengan demikian, sesungguhnya gerakan pembaruan agraria nasional yang ada sekarang pada dasarnya adalah sebuah gerakan lokal. Sehingga, keberlanjutan perjuangan pembaruan agraria di Indonesia sangat ditentukan oleh keberlanjutan eksistensi organisasi tani di tingkat lokal.
Mari kita tilik keberadaan organisasi gerakan petani di local. Pada beberapa tempat, banyak organisasi tani local telah mencapai sebuah bentuk “revolusioner”nya. Keberadaan organisasi ini telah merubah satu sistem kepenguasaan tanah yang lama menjadi sebuah bentuk kepenguasaan tanah yang baru. Misalnya, pada masyarakat disekitar perkebunan, keberadaan organisasi lokal secara cepat telah merubah tata kepemilikan, tata guna dan tata produksi tanah wilayah tersebut akibat aksi reclaiming dan aksi okupasi. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat sekitar wilayah hutan, pola wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat telah merubah secara drastis pola penguasaan dan pengelolaan tanah mereka sebelumnya.

Namun, perubahan-perubahan revolusioner di lokal ini belum ditangkap secara baik dan menjadi sebuah kerangka bagi pembangunan gerakan tani. Padahal, basis perubahan inilah yang semestinya menjadi suatu tali ikatan solidaritas keorganisasian serikat tani. Inilah yang sebenarnya menjadi kunci dari transformasi serikat tani Indonesia: dimulai dari organisasi pembela kasus, berubah menjadi organisasi solidaritas antar kasus, kemudian berubah menjadi satu wadah/tempat perjuangan politik dan secara bersamaan di dalam organisasinya ditransformasikan dalam tali ikatan organisasi kelas produksi kaum tani.

Penutup
 M.Tauhid, telah meninggalkan kepada kita buku yang tidak hanya menjadi pemapar dan penjelas bagi keadaan-keadaan agraria kolonial. Tapi telah membuka jalan bagi pekerjaan lanjutan untuk usaha-usaha terpenting dalam menemukan rumah politik hukum dan ekonomi agraria terbaik di Indonesia yang belum terwujud.

Kata Pengantar Iwan Nurdin dalam buku Masalah Agraria karya M.Tauhid
Penerbit: Pewarta Yogyakarta 2009