Wawancara KPA dengan Iwan Nurdin
Menurut anda apa yang melatarbelakangi pemerintah begitu getol dengan proyek “Food Estate” di Merauke?Kita menyesalkan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten akhirnya memilih model pembangunan food estate bagi Merauke, Papua dalam wadah Merauke Integrate Food and Energy Estate (MIFEE). Sebab ini mencerminkan bahwa ahli-ahli perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan ahli pembangunan pertanian kita yakni Bappenas, Bappeda dan Kementan masih belum berpijak pada realitas masyarakat kita. Sebagian besar dari mereka hanya mengambil mentah-mentah konsep pembangunan pertanian yang selama ini diajukan oleh Bank Dunia, ADB dan direplikasi di tanah air lewat konsep MIFEE.
Padahal, pilihan pembangunan pertanian bagi wilayah Papua khususnya Merauke adalah langkah tepat. Namun, memberikan izin konsesi lahan-lahan skala luas bagi investor tidak ada bedanya dengan pembangunan HTI, Perkebunan Sawit atau produk pertanian apapun. Hal tersebut adalah kekeliruan besar. Pembangunan pertanian semacam ini hanya mendorong rakyat sekitar menjadi buruh perkebunan semata. Kalau kemudian masyarakat asli tidak biasa dan bisa menjadi buruh kebun maka biasanya akan didatangkan pendatang. Maka, pola seperti PIR akan kembali digalakkan. Lebih jauh persoalan akan merembet kepada konflik warga asli dan pendatang di atas konflik tanah.
Apakah proyek ini akan memicu sengketa dan konflik pertanahan?Saya meyakininya. Saat ini, areal yang diperuntukkan untuk MIFEE sebagian besar adalah kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK). Dengan demikian, areal tersebut oleh proses tata ruang akan dimasukkan kedalam kategori APL (Areal Penggunaan Lain) dan disahkan Menteri Kehutanan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa areal tersebut sekarang ini adalah hutan alam yang harus dibersihkan terlebih dahulu. Pembersihan lahan tersebut yang bersamaan dengan pengambilan kayu alam akan memicu konflik dan kerusakan lingkungan.
Harus diingat, biasanya klaim kehutanan selalu tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat yang mengelola hutan sejak lama sesuai tradisinya. Padahal, aturan yang mengakui dan memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah belum diakomodasi sampai sekarang. Maka saya berkeyakinan saat proyek ini berjalan seketika itu pula benih konflik agraria tumbuh dengan cepat dan memakan korban.
Yang lebih menyedihkan, jika konflik agrarian terjadi maka jalan hukum bagi rakyat untuk mendapatkan tanah mereka kembali seolah tertutup. Sebab, selama ini sulit sekali bagi komunitas masyarakat adat diakui dan diperkuat hak-hak atas tanah dan hutan mereka baik secara sendiri-sendiri maupun secara komunitas.
Dalam berbagai kesempatan anda mengatakan bahwa Food Estate adalah ancaman bagi kedaulatan pangan nasional. Bisa dijelaskan?
Proyek semacam ini akan merubah wajah produsen pangan nasional kita dari sebelumnya pemasok pangan nasional kita adalah para petani kecil skala rumah tangga berganti menjadi perusahaan pangan skala besar.
Harus diingat, perusahaan besar asing dan nasional biasanya ekspor oriented ketimbang mengamankan pasokan dalam negeri. Padahal trend harga pangan dunia selalu mengalami kenaikan. Hal-hal semacam ini akan mendorong mereka untuk menekan pemerintah untuk menyerahkan seluruh harga pangan nasional kedalam mekanisme pasar global atau mereka akan mengekspor hasil produksi mereka. Bukankah hal ini terus memacu kenaikan harga bahan pokok di dalam negeri. Kita bisa berkaca dari harga minyak goreng, kontrol perusahaan besar terhadap produksi CPO telah menyebabkan pemerintah sama sekali tidak bisa mengendalikan harga.
Belum lagi kalau kita melihat pengalaman di negara-negara Afrika memperlihatkan bahwa food estate yang dikelola langsung maupun patungan dengan perusahaan China, Korea Selatan dan Timur Tengah semata-mata didorong untuk mengamankan pasokan pangan Negara asal modal.
Pemerintah meyakini bahwa food estate di Papua akan berhasil mengangkat kesejahteraan rakyat sekaligus menyelesaikan persoalan pangan nasional?
Sejak zaman Belanda, Merauke memang sudah dianggap tempat yang paling tepat untuk mengembangkan pangan dan pertanian. Dahulu pemerintah Belanda juga telah mengembangkan proyek padi Kumbe di Merauke tahun 1943. Kultivasi padi kemudian dilanjutkan dimasa Orde Baru melalui proyek didorong oleh kampus IPB maupun program transmigrasi. Sekarang, melalui MIFEE bukan hanya padi namun jagung, tebu, perikanan dan kelapa sawit hendak dikembangkan di Merauke.
Sebelum proyek ini bisa berjalan dibutuhkan dana besar dalam membangun infrastruktur yang sebagian besar dananya diperoleh dari hutang kepada swasta asing maupun dari Bank Dunia dan ADB. Apakah hutang selama ini secara nasional terbukti bisa mensejahterakan?
Jika proyek ini dijalankan maka akan dibutuhkan tenaga kerja skill rendah, madya hingga ahli. Sebagian besar tentu harus didatangkan dari luar Papua. Bukankah ini sebenarnya pembangunan di Papua bukan pembangunan Papua.
Apa jalan keluar dari MIFEE?Model harus berubah, program pembangunan pertanian yang terintegrasi tersebut harus berubah polanya dari pola yang disetir dan berbasis investor menjadi berbasis komunitas. Dengan demikian, Pembaruan Agraria Sejati adalah jalan keluar yang bisa dan wajib diterapkan. Sebab, dengan berbasis rakyat dan komunitas maka yang didorong adalah badan usaha milik rakyat, badan usaha milik desa atau sejenisnya untuk mengelola program ini dengan mengedepankan prinsip keadilan ekologis tentunya.