Jika dilihat kebelakang, program agraria SBY tahun 2004 adalah Revitalisasi Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (RPPK) yang salah satu itemnya adalah menjalankan Reforma Agraria (RA). Meskipun aneh juga, mendudukkan RA dalam RPPK. Bukan kebalikannya. Bahkan, isu ini begitu hangat di tahun 2007-2008 karena presiden dan kabinetnya berencana membagi-bagikan tanah seluas 9.1 juta hektar kepada petani. Program ini oleh BPN dikenalkan dengan nama Program Pembaruan Agraria NAsional (PPAN).
Tak ada yang tahu kemana hilangnya program ini. Sebab, BPN kemudian menjalankan program LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Sedangkan PP tentang Reforma Agraria yang dijanjikan tak kunjung ditandatangani presiden.Mungkin benar anggapan umum selama ini bahwa SBY sangat lamban dalam mengambil keputusan-keputusan. Lebih cepat mengumumkan sesuatu hal ketimbang mengimplementasikan.
Tak ada juga janji untuk melanjutkan program ini baik dari pihak SBY maupun JK. Bahkan, banyak yang terheran-heran dengan program SBY kedepan. Soalnya, iklan-iklan beliau lebih menitikberatkan pada sosoknya yang dicintai keluarga dan sahabat-sahabatnya. SBY sepertinya menganggap rakyat sudah tahu apa program-program dan keberhasilan pemerintahannya. Sehingga tak perlu lagi menjelaskan. Padahal, pemerintah lalu ada SBY dan JK yang sama-sama menjadi capres.
Di kubu JK, keberhasilan swasembada beras dijadikan ikon keberhasilan JK dalam mengawal program pertanian selama ini. Memang, soal-soal ekonomi pada pemerintahan lalu lebih banyak dikuasai oleh JK. Sayangnya, mengapa program-program yang sangat baik untuk memajukan kepemilikan tanah para petani tidak disinggung.
June 8, 2009
June 4, 2009
Masalah Agraria Capres
Saya mengundang kawan-kawan untuk mengkritisi rencana agraria para capres. pertama sekali, saya akan mengulas rencana calon presiden Mega-Pro.
Pasangan ini dalam programnya hendak membangun dua juta hektar lahan sawah. Sebagai kandidat yang menjual isu-isu petani ini tentu membuat pertanyaan besar. Apakah mencetak sawah dua juta hektar tersebut dalam bentuk rice estate, atau kelanjutan program transmigrasi lahan sawah gambut sejuta hektar atau apa ini belum dijelaskan. Tentu saja lahan dua juta hektar ini akan diberikan kepada petani atau akan menciptakan pekerja di perusahaan pertanian juga belum dijelaskan dengan kongkrit.
Selanjutnya, lahan dimana yang akan dipakai oleh pasangan ini untuk mencetak sawah. Apakah lahan-lahan objek landreform, lahan terlantar atau tanah negara lainnya yang akan ditentukan kemudian.
Mengenai rencana membangun 4 juta hektar perkebunan aren. Aren akan panen dalam 7 tahun, apakah relevan dengan petani kita. Apa bedanya dengan jutaan perkebunan sawit yang dibuka dari areal hutan dan nyata-nyata merusak lingkungan. Belum lagi perkebunan monokultur telah menyumbang kerusakan nyata terhadap keaneka ragaman hayati Indonesia. Plus, bukankah sifat pohon aren dan sawit sebenarnya tidak jauh berbeda.
Dua catatan utama saya terhadap program Mega-Pro. Sebagai catatan pribadi, tentu saya berharap pasangan ini merubah program di atas. Ya,daripada menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya. Bagaimanapun, para capres mesti diingatkan.
Jakarta, 3 Juni 2009
Pasangan ini dalam programnya hendak membangun dua juta hektar lahan sawah. Sebagai kandidat yang menjual isu-isu petani ini tentu membuat pertanyaan besar. Apakah mencetak sawah dua juta hektar tersebut dalam bentuk rice estate, atau kelanjutan program transmigrasi lahan sawah gambut sejuta hektar atau apa ini belum dijelaskan. Tentu saja lahan dua juta hektar ini akan diberikan kepada petani atau akan menciptakan pekerja di perusahaan pertanian juga belum dijelaskan dengan kongkrit.
Selanjutnya, lahan dimana yang akan dipakai oleh pasangan ini untuk mencetak sawah. Apakah lahan-lahan objek landreform, lahan terlantar atau tanah negara lainnya yang akan ditentukan kemudian.
Mengenai rencana membangun 4 juta hektar perkebunan aren. Aren akan panen dalam 7 tahun, apakah relevan dengan petani kita. Apa bedanya dengan jutaan perkebunan sawit yang dibuka dari areal hutan dan nyata-nyata merusak lingkungan. Belum lagi perkebunan monokultur telah menyumbang kerusakan nyata terhadap keaneka ragaman hayati Indonesia. Plus, bukankah sifat pohon aren dan sawit sebenarnya tidak jauh berbeda.
Dua catatan utama saya terhadap program Mega-Pro. Sebagai catatan pribadi, tentu saya berharap pasangan ini merubah program di atas. Ya,daripada menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya. Bagaimanapun, para capres mesti diingatkan.
Jakarta, 3 Juni 2009
June 2, 2009
Ketimpangan Struktur Agraria Indonesia
Oleh: Iwan N.Selamat
Situasi agraria di Indonesia saat ini tentu tidak dapat dilepaskan dari jejak-jejak yang dapat kita telusuri dalam sejarah perkembangan masyarakat kepulauan nusantara jauh memanjang kebelakang sejak masa sebelum penjajahan hingga sekarang. Penelusuran semacam ini acapkali tidak dapat menghindari generalisasi --kalau tidak disebut melupakan-- wilayah-wilayah yang jauh dari pusat-pusat perekonomian besar pada masa itu (remote area) dikarenakan terbatasnya informasi, data dan dokumentasi yang bisa diperoleh.
Meski demikian, warisan persoalan agraria Indonesia seolah tidak beranjak dari masa kolonial hingga sesudah merdeka. Warisan-warisan tersebut tersaji dalam keadaan agraria dibawah ini:
Kemiskinan; Sampai 2005, rasio antara jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun sektor ini hanya menyumbang 15,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto Nasional. Sebaliknya, di sektor non pertanian, rasionya adalah 55,7 persen dan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Nasional sebesar 84,1 persen (BPS: 2005).
Keadaaan ini juga ini menggambarkan bahwa pertanian nasional kita menyangga beban berat berupa kelebihan tenaga kerja sekaligus menunjukkan rendahnya pendapatan (kemiskinan) pada orang-orang yang bekerja pada sektor pertanian.
Rendahnya kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan rakyat; Penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya adalah kepemilikan tanah tanah yang sempit. Sejak tahun tahun 1983, persentase usaha tani yang masuk dalam kategori kelompok penguasaan tanah gurem (kurang dari 0,5 ha) telah mencapai 40,8 persen dari total usaha tani dan meningkat menjadi 48,5 persen pada tahun 1993 dan menjadi 56,5% pada 2003 (25, 4 juta jiwa). Peningkatan ini juga disertai dengan menurunnya angka luasan rata-rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha.
Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa jauh lebih cepat dari luar Jawa. Menurut ST.93 persentase rumah tangga petani gurem di Jawa adalah 69,8 persen, sedangkan menurut ST.03 naik menjadi 74,9 % atau naik 5,1 persen. Di luar Jawa dalam ST. 93 sebesar 30,6 persen sedangkan berdasarkan ST.03 meningkat menjadi 33,9 persen atau naik 3,3 persen. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6 persen/tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003 (Country Report Indonesia: 2006).
Sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Husodo pada tahun 1999 menunjukkan bahwa skala kepemilikan kurang dari 1 ha hanya mampu memberikan1,44 kali dari biaya input dan cenderung meningkat pada skala usaha tani yang lebih luas. Dengan melihat skala kepemilikan dan komponen biaya, studi ini menyimpulkan bahwa sebagian besar usaha tani di Indonesia tidak menguntungkan lagi (Husodo:1999).
Pada areal perkebunan, ketimpangan juga begitu besar. Porsi perusahaan perkebunan menguasai 31,5 % dari areal perkebunan yang ada di tanah air. Padahal, para petani perkebunan rakyat ini rata-rata hidup pada wilayah-wilayah yang berinfrastruktur buruk. Sehingga, barang konsumsi dan hasil panen mereka kerapkali terbebani ongkos pengangkutan yang tinggi.
Di wilayah hutan, ketimpangan pengelolaan yang memprihatinkan juga terus terjadi. Sampai dengan Desember 2003 terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah tidak dapat lagi dimanfaatkan, sebagian besar diajukan untuk dilepaskan dari kawasan hutan untuk dijadikan areal perkebunan besar ketimbang dihijaukan kembali. Sampai dengan tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan kepada 503 unit usaha untuk dengan luas 4,682 juta hektar (Badan Planologi Kehutanan: 2004). Padahal, penetapan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan selalu meniadakan hak masyarakat asli setempat yang telah mendiami dan mengelola kawasan hutan untuk keberlanjutan komunitas mereka. Deretan data ketimpangan tersebut dapat terus diperpanjang jika kita tambahkan pada wilayah pesisir kelautan dan tambang.
Warisan persoalan agaria yang kasat mata tersebut semakin kukuh keberadaannya akibat politik hukum agraria yang pro-modal besar ketimbang perlindungan rakyat. Alih-alih melindungi rakyat sekaligus mentransformasikan masyarakat agraria indonesia menjadi para pelaku ekonomi modern yang kuat, politik hukum yang berlaku di Indonesia lebih memberikan porsi peruntukan kepada pemodal besar untuk terus menggurita.
Jakarta, 1 Juni
Iwan Nurdin
Situasi agraria di Indonesia saat ini tentu tidak dapat dilepaskan dari jejak-jejak yang dapat kita telusuri dalam sejarah perkembangan masyarakat kepulauan nusantara jauh memanjang kebelakang sejak masa sebelum penjajahan hingga sekarang. Penelusuran semacam ini acapkali tidak dapat menghindari generalisasi --kalau tidak disebut melupakan-- wilayah-wilayah yang jauh dari pusat-pusat perekonomian besar pada masa itu (remote area) dikarenakan terbatasnya informasi, data dan dokumentasi yang bisa diperoleh.
Meski demikian, warisan persoalan agraria Indonesia seolah tidak beranjak dari masa kolonial hingga sesudah merdeka. Warisan-warisan tersebut tersaji dalam keadaan agraria dibawah ini:
Kemiskinan; Sampai 2005, rasio antara jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun sektor ini hanya menyumbang 15,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto Nasional. Sebaliknya, di sektor non pertanian, rasionya adalah 55,7 persen dan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Nasional sebesar 84,1 persen (BPS: 2005).
Keadaaan ini juga ini menggambarkan bahwa pertanian nasional kita menyangga beban berat berupa kelebihan tenaga kerja sekaligus menunjukkan rendahnya pendapatan (kemiskinan) pada orang-orang yang bekerja pada sektor pertanian.
Rendahnya kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan rakyat; Penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya adalah kepemilikan tanah tanah yang sempit. Sejak tahun tahun 1983, persentase usaha tani yang masuk dalam kategori kelompok penguasaan tanah gurem (kurang dari 0,5 ha) telah mencapai 40,8 persen dari total usaha tani dan meningkat menjadi 48,5 persen pada tahun 1993 dan menjadi 56,5% pada 2003 (25, 4 juta jiwa). Peningkatan ini juga disertai dengan menurunnya angka luasan rata-rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha.
Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa jauh lebih cepat dari luar Jawa. Menurut ST.93 persentase rumah tangga petani gurem di Jawa adalah 69,8 persen, sedangkan menurut ST.03 naik menjadi 74,9 % atau naik 5,1 persen. Di luar Jawa dalam ST. 93 sebesar 30,6 persen sedangkan berdasarkan ST.03 meningkat menjadi 33,9 persen atau naik 3,3 persen. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6 persen/tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003 (Country Report Indonesia: 2006).
Sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Husodo pada tahun 1999 menunjukkan bahwa skala kepemilikan kurang dari 1 ha hanya mampu memberikan1,44 kali dari biaya input dan cenderung meningkat pada skala usaha tani yang lebih luas. Dengan melihat skala kepemilikan dan komponen biaya, studi ini menyimpulkan bahwa sebagian besar usaha tani di Indonesia tidak menguntungkan lagi (Husodo:1999).
Pada areal perkebunan, ketimpangan juga begitu besar. Porsi perusahaan perkebunan menguasai 31,5 % dari areal perkebunan yang ada di tanah air. Padahal, para petani perkebunan rakyat ini rata-rata hidup pada wilayah-wilayah yang berinfrastruktur buruk. Sehingga, barang konsumsi dan hasil panen mereka kerapkali terbebani ongkos pengangkutan yang tinggi.
Di wilayah hutan, ketimpangan pengelolaan yang memprihatinkan juga terus terjadi. Sampai dengan Desember 2003 terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah tidak dapat lagi dimanfaatkan, sebagian besar diajukan untuk dilepaskan dari kawasan hutan untuk dijadikan areal perkebunan besar ketimbang dihijaukan kembali. Sampai dengan tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan kepada 503 unit usaha untuk dengan luas 4,682 juta hektar (Badan Planologi Kehutanan: 2004). Padahal, penetapan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan selalu meniadakan hak masyarakat asli setempat yang telah mendiami dan mengelola kawasan hutan untuk keberlanjutan komunitas mereka. Deretan data ketimpangan tersebut dapat terus diperpanjang jika kita tambahkan pada wilayah pesisir kelautan dan tambang.
Warisan persoalan agaria yang kasat mata tersebut semakin kukuh keberadaannya akibat politik hukum agraria yang pro-modal besar ketimbang perlindungan rakyat. Alih-alih melindungi rakyat sekaligus mentransformasikan masyarakat agraria indonesia menjadi para pelaku ekonomi modern yang kuat, politik hukum yang berlaku di Indonesia lebih memberikan porsi peruntukan kepada pemodal besar untuk terus menggurita.
Jakarta, 1 Juni
Iwan Nurdin
Subscribe to:
Posts (Atom)