June 6, 2012

Sengketa Lahan Dibiarkan


Batam, - Sengketa lahan, yang dapat berujung pada konflik sosial, bukan persoalan baru. Namun, sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. Padahal, sebenarnya ada beberapa model penyelesaian yang bisa dilakukan pemerintah.

”Seperti juga tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2012 konflik agraria merata di Indonesia. Ada konsentrasi pengusahaan lahan oleh perusahaan besar. Sebagian besar konflik disebabkan masalah pertanahan yang tidak pernah selesai,” papar Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Senin (28/5), di Batam

Tahun ini, selain terjadi di Mesuji (Sumatera Selatan dan Lampung), letupan konflik agraria juga terjadi di Sungai Mencirim (Sumatera Utara) dan Jember (Jawa Timur). Sengketa lahan terjadi antara warga atau perambah dan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara, khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan badan usaha milik daerah. Sengketa lahan umumnya terkait perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Di Sumsel, konflik antara warga dari sejumlah desa dan PTPN VII Cinta Manis, Senin, makin memanas pula. Ratusan pekerja PTPN VII Cinta Manis, yang tergabung dalam Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII, kemarin, berunjuk rasa di Polda Sumsel dan Kantor Gubernur Sumsel di Palembang. Pekerja mendesak Polri dan Pemerintah Provinsi Sumsel memberikan perlindungan kepada pekerja dan perusahaan itu.

Pekerja juga meminta penduduk tidak mengklaim lahan tanpa bukti kepemilikan yang sah. Kasus perebutan lahan antara warga dari 13 desa di sekitar perkebunan tebu dan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir terjadi sejak tahun 1982. Warga menilai lahan mereka diambil alih dengan ganti rugi yang tak sesuai.

Di Aceh, sengketa lahan antara warga dan perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) dan izin konsesi lain mengancam Kawasan Rawa Tripa. Kawasan yang dikelola perusahaan perkebunan sawit pemegang HGU tumpang tindih dengan lahan hutan, yang mencapai 62.000 hektar. Warga dari tujuh desa di sekitar kawasan itu menolak perkebunan kelapa sawit yang mereka nilai mengambil alih lahan mereka secara tidak sah. Menurut Koordinator Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Halim Gurning, konflik lahan di kawasan itu terjadi sejak tahun 1990 dan sampai kini masih berlangsung.

Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam menambahkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit di provinsi itu sejak empat tahun terakhir memicu 288 konflik antara perusahaan dan warga. Sengketa itu juga cenderung dibiarkan oleh pemerintah, termasuk oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sengketa warga dengan perusahaan memuncak karena banyak perusahaan memaksakan kerja sama pemakaian lahan yang merugikan warga. ”Dari 10 hektar lahan yang diserahkan pada perusahaan, warga mendapat paling banyak 3 hektar kebun kelapa sawit. Warga masih dibebani kredit Rp 50 juta dengan dalih untuk menyiapkan lahan,” kata Adam.

Tahun 2012 muncul pula konflik lahan baru. Hal itu terlihat di Kalimantan Selatan, tempat warga Dayak di Gunung Meratus memprotes penerbitan izin hutan tanaman industri (HTI) di wilayah adat mereka. ”Konflik ini memperpanjang daftar perampasan hak warga oleh negara dan pemodal,” ujar Iwan Nurdin.

Sengketa diperburuk dengan peraturan yang cenderung memihak pemodal. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang memungkinkan negara mengabaikan perlindungan terhadap warga.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta mengungkapkan, konflik lahan terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini sebagai dampak dari kebijakan pertanian (perkebunan) Pemerintah Indonesia yang berorientasi ekspor. ”Misalnya, seberapa pun besar permintaan minyak sawit di pasar dunia akan dipenuhi oleh Indonesia. Konflik lahan pun tak terelakkan,” ungkapnya. Pengusaha dan petani pasti tergiur oleh harga komoditas sawit yang sangat tinggi. Apalagi pemerintah mendukung.

KPA mencatat, tahun lalu konflik agraria ini melibatkan 69.975 keluarga di seluruh Indonesia. Mereka bersengketa atas areal seluas 476.048 hektar. ”Tahun lalu 22 orang tewas akibat konflik pertanahan,” kata Iwan.

BPN harus aktif

Dari Medan, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Raden Heru Prakoso mengatakan, polisi berupaya menyelesaikan konflik yang berawal dari sengketa lahan secara dialogis. Pertengahan Januari lalu, Polda Sumut mengundang berbagai kalangan untuk berdialog terkait konflik agraria itu.

Bahkan, unsur pimpinan daerah Sumut, seperti Kepala Polda Inspektur Jenderal Wisjnu Amat Sastro dan Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, sudah bertemu membahas upaya dialogis penyelesaian konflik lahan. Pertemuan juga dihadiri Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayor Jenderal TNI Lodewijk F Paulus, Kepala Kejaksaan Tinggi Basuni Masyarif, dan semua kepala daerah.

Kantor Wilayah BPN Sumut diminta aktif menangani kasus sengketa lahan pula. BPN menjadi simpul penting dalam sengketa lahan yang rawan konflik. ”Kami berharap pertemuan itu ditindaklanjuti BPN dan pemerintah daerah,” kata Heru.

Menurut Heru, sengketa lahan di Sumut sangat rawan memicu konflik horizontal. Polda Sumut mencatat, tahun 2005-2011 terjadi 2.833 konflik lahan di provinsi itu (Kompas, 28/5).

Kepala Tata Usaha BPN Sumut Ahmad Yani menjelaskan, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) berupaya memetakan lahan yang selama ini menjadi obyek sengketa. BPN Sumut bertugas mengukur lahan itu untuk dijadikan patokan batas lahan. Rencananya akhir Mei ini pengukuran itu rampung.

Siapkan formula

Staf khusus Kepala BPN, Usep Setiawan, di Jakarta menuturkan, BPN menyiapkan formula kebijakan pembaruan agraria untuk mengatasi sengketa lahan dan konflik terkait tanah yang kian meningkat. Akan tetapi, diakui, BPN tak mungkin menyelesaikan konflik tanah sendirian. Semua pemangku kepentingan terkait agraria harus mau duduk bersama merumuskan langkah pembaruan agraria.Formula yang ideal bagi penyelesaian konflik agraria adalah pelaksanaan pembaruan agraria secara menyeluruh. Formula ini sekarang sedang disiapkan BPN,” ujar Usep.

Usep mengatakan, titik sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria adalah mengatasi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya. Salah satu langkah pembaruan agraria yang jamak dilakukan adalah redistribusi lahan milik negara atau swasta kepada petani tak bertanah alias petani gurem.

Namun, BPN tak mungkin bekerja sendiri. ”Butuh juga langkah yang sama dilakukan instansi terkait, termasuk pemerintah daerah. Pendekatan sporadis dan parsial dalam menangani konflik yang beragam dan masif tak akan efektif,” kata Usep.

Menurut Usep, sepantasnya Presiden turun tangan. Konflik lahan adalah bom waktu yang bisa menjadi sumber gangguan sosial dan politik. Presiden harus mengarahkan semua sektor agar membuat strategi khusus bersama mengatasi konflik agraria.(AHA/RAZ/BIL/IRE/EGI/MAS/MHF/HAN/INK/UTI/JON/REN)
Kompas Cetak 29 Mei 2012

May 24, 2012

Konflik PTPN II dan Masyarakat

 BINJAI-Bentrok antara warga dengan karyawan PTPN 2 di Kecamatan Kutalimbaru masih menyisakan kepanikan dan suasana mencekam. Bahkan, di beberapa kampung sekitar lokasi bentrok warganya menghilang. Mereka pergi karena takut ditangkap polisi karena terlibat dalam bentrokan dan pembakaran truk PTPN 2, Selasa (22/5) lalu.

Di lokasi bentrokan, tepatnya di Desa Salang Paku, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, puluhan personel kepolisian dari Polresta Medan dibantu petugas Polresta Binjai masih terlihat berjaga-jaga, Rabu (23/5). Informasi yang diterima Sumut Pos, sejumlah petugas juga melakukan penyisiran ke perkampungan warga guna mencari pelaku pembakaran mobil. Tampak sejumlah petugas berpakaian sipil terus memantau pergerakan warga di kampung tersebut.

Suasana di perkempungan pun tampak lengang. Beberapa warga hanya berkumpul di beberapa titik. Bahkan, beberapa pria terlihat serius memandangi setiap orang yang masuk ke perkampungan itu. Tatapan-tatapan curiga melihat orang asing begitu tampak. Desa Salang Paku pun berubah drastis layaknya di wilayah konflik.

Hal itupun diakui Ketua Kelompok Tani Maju Jaya, Zakaria. Menurutnya, memang sejak terjadinya bentrok dengan karyawan PTPN2 Selasa lalu, sejumlah petugas mulai melakukan penyisiran. Hal itu membuat suasana semakin mencekam dan penuh dengan kepanikan. “Tapi kami nggak tahu mereka mencari siapa,” ujarnya.

Dia menambahkan, pascabentrok sejumlah warga yang ikut terlibat dalam aksi tersebut langsung berhamburan meninggalkan lokasi bentrok. Mereka takut bakal menjadi sasaran penangkapan petugas kepolisian. “Mereka sudah pergi semua, saya nggak tahu ke mana,” ucapnya.
Ketika ditanya warga yang terlibat bentrok berasal dari mana, Zakaria mengatakan seluruh warga berasal dari kampung di sekitar lokasi. “Ya warga disini semua, kan disini ada beberapa kampung,” sebutnya.

Dia juga mengatakan, pihaknya hanya mempertahankan tanaman jagung yang ingin di okupasi pihak PTPN2. Pasalnya, lahan eks PTPN2 itu, merupakan lahan peninggalan orangtua mereka yang dikuasai PTPN2 sejak berpuluhan tahun. “Sampai kapan pun kita tetap bertahan,” urainya.

Dia menceritakan, aksi penyerangan yang dilakukan warga, bukan tak beralasan. Soalnya, jika pihaknya tidak menyerang terlebih dahulu, mereka takut akan mati konyol dihajar pihak PTPN2 yang jelas menang jumlah. “Kita sudah pengalaman soal ini (penyerangan, Red), karena sebulan lalu, pihak PTPN2 juga melakukan penyerangan kepada warga saat melakukan okupasi dan menghancurkan lahan yang mereka tanami,” jelasnya.

Bahkan, Zakaria menduga, kalau pihak PTPN2 juga menyewa preman untuk memotong tanaman pisang mereka dengan kelewang. Tidak hanya itu, preman itu juga sempat melepaskan tembakan sebanyak enam kali agar warga tidak mendekat.  “Kami nggak mau mati koyol. Sebab, Kamis (19/4) lalu, mereka juga melakukan okupasi dengan mengandalkan preman. Bahkan, mereka melepaskan tembakan sebanyak 6 kali, agar warga tidak mengejar,” ungkap Zakaria.

Kejadian Selasa lalu, kata Zakaria, warga memang sudah siap menghadapi karyawan PTPN 2 yang ingin melakukan okupasi. “Kejadian kemarin juga ada premannya kok. Sebab, aku sempat melihat jika ada sekitar 25 orang preman Simalingkar, yang membawa parang ikut di dalam mobil,” timpal seorang warga bernama Iwan.

KPA: Preman Bergabung dengan Karyawan

Sementara, Humas PTPN2 Sei Semayang Eka Dama Yanti, saat dikonfirmasi mengatakan, memang pihaknya ada melakukan okupasi sebulan lalu. Namun, saat itu pihaknya menjadi korban. “Memang kita sempat melakukan okupasi sebulan lalu, tapi kita dihalangi warga saat mencabut dua batang pohon pisang,” kata Eka.

Soal penggunaan jasa preman juga menjadi catatan pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jakarta. “Informasi dari lapangan, itu para preman bayaran yang bergabung dengan karyawan,” cetus Deputi Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.

Lantas apa kepentingan mafia tanah? Iwan membeberkan dari aspek historis masalah tanah di sana. Dipaparkan, lahan-lahan PTPN II itu dulunya, di era Presiden Soekarno, sebagian sudah dibagikan kepada rakyat dan sudah disertai Surat Keterangan Pembagian Tanah (SKPT) dan Surat Land Reform. “Ada yang menyebutnya sebagai tanah suguhan. Di surat-surat itu tadi sudah disebutkan tanah menjadi hak milik rakyat,” terang Iwan.

Hanya saja, lanjut Iwan, di awal-awal rezim Orde Baru, rakyat di sana dituduh komunis sehingga tanah-tanah yang sudah dibagi di era Bung Karno, dirampas lagi oleh negara dan diterbitkan HGU untuk PTPN-PTPN, termasuk untuk PTPN II.

Belakangan, rakyat yang merasa dirugikan melakukan gugatan. BPN pun bersikap, dengan menerbitkan surat perintah agar ditunda dulu perpanjangan HGU untuk PTPN II. “Sehingga banyak tanah PTPN II tak dapat diperpanjang HGU-nya karena ada tanah rakyat di situ,” imbuhnya.

Nah, status tanah yang seperti itulah yang dicoba dimainkan para mafia tanah, yang melibatkan ormas-ormas kepemudaan. “Mereka menebangi tanaman warga, memagarinya, dan PTPN membiarkan saja. Saya yakin ada pengusaha-pengusaha hitam. Saya takutnya, ini ada kolaborasi oknum-oknum di PTPN II dengan pengusaha hitam, yang paham itu tanah sengketa, lantas mau menduduki. Harapannya, nanti begitu pemerintah bilang ‘kembalikan tanah ke rakyat’, mereka yang justru akan menguasai,” beber Iwan.

Kecurigaan ini diperkuat dengan fakta di lapangan, lanjut Iwan, dimana ketika warga yang menduduki lahan, pihak PTPN II cepat sekali bereaksi. “Tapi begitu para preman yang memagari, didiamkan saja,” ujarnya.

KPA mendesak agar Pemda dan pihak-pihak terkait secepatnya meneliti ulang status tanah. Bagi yang sudah menjadi hak milik warga, yang dibuktikan dengan adanya SKPT, Surat Land Reform, dan Surat Tanah Suguhan, langsung dikembalikan lahan itu ke rakyat.
KPA juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dugaan adanya permainan preman dan spekulan tanah. “Mafia tanah yang luar biasa pat gulipatnya itu ada di Sumut,” tegasnya. (ndi/sam)

March 22, 2012

Kepentingan Umum Dalam UUPA 1960 (1)

 Oleh Iwan Nurdin

Kepentingan Umum menurut UUPA terkait fungsi sosial hak atas tanah .seperti disebut dalam pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 

Dalam penjelasannya diuraikan: Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

Selanjutnya, kepentingan umum secara eksplisit juga disebutkan didalam UUPA:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7).
Pasal ini dijabarkan kedalam pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Penjelasan pasal 17: Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebutselanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.

Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.

Catatan:Pelaksanaan pasal 7 dan pasal 17 ini kemudian yang melahirkan peraturan-peraturan terkait dengan pelaksanaan land reform pada masa itu. Jadi: fungsi sosial dalam kerangka kepentingan umum atas tanah dimaksudkan untuk menciptakan keadilan social melalui reforma agraria

Selanjutnya, Kepentingan Umum juga secara eksplisit disebutkan di dalam pasal 18: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Penjelasan: Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.

Pelaksanaan dari pasal ini melahirkan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di Atasnya.