KONFLIK LAHAN TERUS BERLANJUT
Pontianak, Kompas - Konflik antara warga dan aparat, pemerintah, atau swasta terkait penguasaan lahan sulit mereda karena mereka yang kehilangan tanah merasa kehilangan identitas. Masyarakat akan merebut identitasnya lagi. Di sisi lain, pemerintah lamban menangani persoalan ini.
Demikian diingatkan Guru Besar Sosiologi Konflik dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Syarif Ibrahim Alqadrie, Ketua Indonesia Human Rights Committee for Social Justice Gunawan, dan Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Jumat (20/7).
Pendekatan legalistik semata tak bisa dipakai guna menyelesaikan konflik yang bersumber dari penguasaan lahan itu.
”Masyarakat yang kehilangan tanahnya karena diambil alih perusahaan atau negara akan kehilangan identitas. Konflik timbul saat masyarakat menyadari perlunya identitas bagi mereka,” kata Syarif. Tanah adalah tempat untuk mengaktualisasikan identitas masyarakat.
Konflik terkait perebutan penguasaan lahan masih terjadi di lokasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Sekitar 3.000 petani dari Gerakan Petani Penesak Bersatu, Jumat, mendatangi Polda Sumsel di Palembang. Petani menuntut agar rekan mereka yang ditangkap polisi terkait perusakan fasilitas milik PTPN VII Cinta Manis dibebaskan. Kekerasan yang terjadi di lokasi PTPN VII sudah berlangsung sepekan ini.
Dari Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga dilaporkan terjadi konflik antara warga dan perusahaan pertambangan emas di Desa Wahang, Kecamatan Pinu Pahar. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Heribertus Naif menuturkan, kekerasan terjadi sejak pekan lalu. Empat warga dilaporkan terluka dan lima rumah warga terbakar. Konflik terkait lahan di kawasan ini terjadi sejak tahun 2010.
Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, juga terjadi bentrokan antara warga dan polisi terkait eksploitasi emas oleh perusahaan yang mengancam lahan milik warga. Seorang warga tewas tertembak dalam bentrokan itu (Kompas, 20/7).
Diakui Iwan, pemerintah lamban dalam menangani persengketaan lahan, yang bisa berujung dengan kekerasan, dalam masyarakat ini. Bahkan, KPA mencatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingkar janji karena pernah menjanjikan akan membuat peraturan pemerintah di bidang pertanahan yang lebih melindungi kepentingan petani/masyarakat adat.
Untuk penyelesaian sengketa, lanjut Gunawan, harus segera dibentuk tim mediasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Keberadaan perusahaan swasta dan PTPN perlu dikaji kembali karena kemungkinan ada pengabaian hukum saat mereka berusaha di lapangan.
Akumulasi kemarahan
Syarif menegaskan, konflik bisa timbul karena akumulasi kemarahan masyarakat menghadapi persoalan lahan yang tak kunjung selesai. Di banyak tempat, lahan adat dan kawasan budidaya masyarakat diambil alih perusahaan dengan bagi hasil yang tak menguntungkan masyarakat.
”Sistem pengambilalihan lahan, seperti dari 10 hektar lahan masyarakat hanya dikembalikan 3 hektar dalam bentuk perkebunan, bisa menjadi pemicu. Anak- cucu orang yang menyerahkan lahan itu akan menuntut karena mereka tak lagi memiliki cukup lahan,” kata Syarif.
Gunawan mengatakan, PTPN, misalnya, dibangun seharusnya untuk memberikan kesejahteraan kepada warga sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Kenyataannya, justru konflik yang terus-menerus terjadi.
Iwan mengatakan, aksi warga yang mempersoalkan lahannya yang dikuasai perusahaan atau PTPN tak boleh dipandang dalam konteks kekinian saja. Harus dirunut proses mendapatkan lahan itu. Pada masa lalu, banyak lahan diambil paksa dari warga.
Menurut Iwan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memungkinkan negara mengabaikan perlindungan kepada warganya. Peraturan pertanahan yang lebih adil bagi warga jadi solusi untuk konflik lahan.
Pemetaan lahan
Terkait konflik terus-menerus antara warga dan PTPN VII Cinta Manis, Gubernur Sumsel Alex Noerdin menginstruksikan segera dilakukan pemetaan lahan. Hal ini dilakukan untuk mendata lahan yang memiliki hak guna usaha (HGU). Jika ada lahan di luar HGU yang menjadi hak PTPN, dibuat kebijakan agar lahan itu diserahkan kepada yang benar-benar berhak.
Kamis sore, Alex mendatangi lokasi konflik di Ogan Ilir dan berdialog dengan warga. Ia berusaha menenangkan warga yang membawa berbagai senjata dan menyatakan berpihak kepada masyarakat sepanjang tuntutannya memiliki dasar yang benar.
Alex juga menyatakan hukum harus ditegakkan. Perusakan dan pembakaran sekitar 1.200 hektar lahan tebu milik PTPN VII Cinta Manis adalah pelanggaran hukum yang serius. Kasus itu harus dipisahkan dengan tuntutan warga untuk memiliki lahan.
Alex tak mencampuri penangkapan 12 warga yang diduga terlibat perusakan dan pembakaran lahan milik PTPN VII Cinta Manis. Bahkan, polisi sudah menetapkan sembilan orang di antaranya sebagai tersangka. ”Tiga orang lainnya akan dibebaskan karena tak terbukti melanggar hukum,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Raja Haryono.
Di Sumba Timur, polisi sudah bisa meredakan kekerasan yang terjadi. Namun, warga tetap meminta perusahaan pertambangan emas keluar dari desanya.(IRE/KOR/RAZ/AHA)
KOMPAS CETAK KAMIS SABTU 21 Juli 2012
Pontianak, Kompas - Konflik antara warga dan aparat, pemerintah, atau swasta terkait penguasaan lahan sulit mereda karena mereka yang kehilangan tanah merasa kehilangan identitas. Masyarakat akan merebut identitasnya lagi. Di sisi lain, pemerintah lamban menangani persoalan ini.
Demikian diingatkan Guru Besar Sosiologi Konflik dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Syarif Ibrahim Alqadrie, Ketua Indonesia Human Rights Committee for Social Justice Gunawan, dan Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Jumat (20/7).
Pendekatan legalistik semata tak bisa dipakai guna menyelesaikan konflik yang bersumber dari penguasaan lahan itu.
”Masyarakat yang kehilangan tanahnya karena diambil alih perusahaan atau negara akan kehilangan identitas. Konflik timbul saat masyarakat menyadari perlunya identitas bagi mereka,” kata Syarif. Tanah adalah tempat untuk mengaktualisasikan identitas masyarakat.
Konflik terkait perebutan penguasaan lahan masih terjadi di lokasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Sekitar 3.000 petani dari Gerakan Petani Penesak Bersatu, Jumat, mendatangi Polda Sumsel di Palembang. Petani menuntut agar rekan mereka yang ditangkap polisi terkait perusakan fasilitas milik PTPN VII Cinta Manis dibebaskan. Kekerasan yang terjadi di lokasi PTPN VII sudah berlangsung sepekan ini.
Dari Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga dilaporkan terjadi konflik antara warga dan perusahaan pertambangan emas di Desa Wahang, Kecamatan Pinu Pahar. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Heribertus Naif menuturkan, kekerasan terjadi sejak pekan lalu. Empat warga dilaporkan terluka dan lima rumah warga terbakar. Konflik terkait lahan di kawasan ini terjadi sejak tahun 2010.
Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, juga terjadi bentrokan antara warga dan polisi terkait eksploitasi emas oleh perusahaan yang mengancam lahan milik warga. Seorang warga tewas tertembak dalam bentrokan itu (Kompas, 20/7).
Diakui Iwan, pemerintah lamban dalam menangani persengketaan lahan, yang bisa berujung dengan kekerasan, dalam masyarakat ini. Bahkan, KPA mencatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingkar janji karena pernah menjanjikan akan membuat peraturan pemerintah di bidang pertanahan yang lebih melindungi kepentingan petani/masyarakat adat.
Untuk penyelesaian sengketa, lanjut Gunawan, harus segera dibentuk tim mediasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Keberadaan perusahaan swasta dan PTPN perlu dikaji kembali karena kemungkinan ada pengabaian hukum saat mereka berusaha di lapangan.
Akumulasi kemarahan
Syarif menegaskan, konflik bisa timbul karena akumulasi kemarahan masyarakat menghadapi persoalan lahan yang tak kunjung selesai. Di banyak tempat, lahan adat dan kawasan budidaya masyarakat diambil alih perusahaan dengan bagi hasil yang tak menguntungkan masyarakat.
”Sistem pengambilalihan lahan, seperti dari 10 hektar lahan masyarakat hanya dikembalikan 3 hektar dalam bentuk perkebunan, bisa menjadi pemicu. Anak- cucu orang yang menyerahkan lahan itu akan menuntut karena mereka tak lagi memiliki cukup lahan,” kata Syarif.
Gunawan mengatakan, PTPN, misalnya, dibangun seharusnya untuk memberikan kesejahteraan kepada warga sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Kenyataannya, justru konflik yang terus-menerus terjadi.
Iwan mengatakan, aksi warga yang mempersoalkan lahannya yang dikuasai perusahaan atau PTPN tak boleh dipandang dalam konteks kekinian saja. Harus dirunut proses mendapatkan lahan itu. Pada masa lalu, banyak lahan diambil paksa dari warga.
Menurut Iwan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memungkinkan negara mengabaikan perlindungan kepada warganya. Peraturan pertanahan yang lebih adil bagi warga jadi solusi untuk konflik lahan.
Pemetaan lahan
Terkait konflik terus-menerus antara warga dan PTPN VII Cinta Manis, Gubernur Sumsel Alex Noerdin menginstruksikan segera dilakukan pemetaan lahan. Hal ini dilakukan untuk mendata lahan yang memiliki hak guna usaha (HGU). Jika ada lahan di luar HGU yang menjadi hak PTPN, dibuat kebijakan agar lahan itu diserahkan kepada yang benar-benar berhak.
Kamis sore, Alex mendatangi lokasi konflik di Ogan Ilir dan berdialog dengan warga. Ia berusaha menenangkan warga yang membawa berbagai senjata dan menyatakan berpihak kepada masyarakat sepanjang tuntutannya memiliki dasar yang benar.
Alex juga menyatakan hukum harus ditegakkan. Perusakan dan pembakaran sekitar 1.200 hektar lahan tebu milik PTPN VII Cinta Manis adalah pelanggaran hukum yang serius. Kasus itu harus dipisahkan dengan tuntutan warga untuk memiliki lahan.
Alex tak mencampuri penangkapan 12 warga yang diduga terlibat perusakan dan pembakaran lahan milik PTPN VII Cinta Manis. Bahkan, polisi sudah menetapkan sembilan orang di antaranya sebagai tersangka. ”Tiga orang lainnya akan dibebaskan karena tak terbukti melanggar hukum,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Raja Haryono.
Di Sumba Timur, polisi sudah bisa meredakan kekerasan yang terjadi. Namun, warga tetap meminta perusahaan pertambangan emas keluar dari desanya.(IRE/KOR/RAZ/AHA)
KOMPAS CETAK KAMIS SABTU 21 Juli 2012