Batam, - Sengketa lahan, yang dapat berujung pada konflik sosial, bukan persoalan baru. Namun, sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. Padahal, sebenarnya ada beberapa model penyelesaian yang bisa dilakukan pemerintah.
”Seperti juga tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2012 konflik agraria merata di Indonesia. Ada konsentrasi pengusahaan lahan oleh perusahaan besar. Sebagian besar konflik disebabkan masalah pertanahan yang tidak pernah selesai,” papar Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Senin (28/5), di Batam
Tahun ini, selain terjadi di Mesuji (Sumatera Selatan dan Lampung), letupan konflik agraria juga terjadi di Sungai Mencirim (Sumatera Utara) dan Jember (Jawa Timur). Sengketa lahan terjadi antara warga atau perambah dan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara, khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan badan usaha milik daerah. Sengketa lahan umumnya terkait perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Di Sumsel, konflik antara warga dari sejumlah desa dan PTPN VII Cinta Manis, Senin, makin memanas pula. Ratusan pekerja PTPN VII Cinta Manis, yang tergabung dalam Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII, kemarin, berunjuk rasa di Polda Sumsel dan Kantor Gubernur Sumsel di Palembang. Pekerja mendesak Polri dan Pemerintah Provinsi Sumsel memberikan perlindungan kepada pekerja dan perusahaan itu.
Pekerja juga meminta penduduk tidak mengklaim lahan tanpa bukti kepemilikan yang sah. Kasus perebutan lahan antara warga dari 13 desa di sekitar perkebunan tebu dan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir terjadi sejak tahun 1982. Warga menilai lahan mereka diambil alih dengan ganti rugi yang tak sesuai.
Di Aceh, sengketa lahan antara warga dan perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) dan izin konsesi lain mengancam Kawasan Rawa Tripa. Kawasan yang dikelola perusahaan perkebunan sawit pemegang HGU tumpang tindih dengan lahan hutan, yang mencapai 62.000 hektar. Warga dari tujuh desa di sekitar kawasan itu menolak perkebunan kelapa sawit yang mereka nilai mengambil alih lahan mereka secara tidak sah. Menurut Koordinator Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Halim Gurning, konflik lahan di kawasan itu terjadi sejak tahun 1990 dan sampai kini masih berlangsung.
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam menambahkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit di provinsi itu sejak empat tahun terakhir memicu 288 konflik antara perusahaan dan warga. Sengketa itu juga cenderung dibiarkan oleh pemerintah, termasuk oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sengketa warga dengan perusahaan memuncak karena banyak perusahaan memaksakan kerja sama pemakaian lahan yang merugikan warga. ”Dari 10 hektar lahan yang diserahkan pada perusahaan, warga mendapat paling banyak 3 hektar kebun kelapa sawit. Warga masih dibebani kredit Rp 50 juta dengan dalih untuk menyiapkan lahan,” kata Adam.
Tahun 2012 muncul pula konflik lahan baru. Hal itu terlihat di Kalimantan Selatan, tempat warga Dayak di Gunung Meratus memprotes penerbitan izin hutan tanaman industri (HTI) di wilayah adat mereka. ”Konflik ini memperpanjang daftar perampasan hak warga oleh negara dan pemodal,” ujar Iwan Nurdin.
Sengketa diperburuk dengan peraturan yang cenderung memihak pemodal. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang memungkinkan negara mengabaikan perlindungan terhadap warga.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta mengungkapkan, konflik lahan terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini sebagai dampak dari kebijakan pertanian (perkebunan) Pemerintah Indonesia yang berorientasi ekspor. ”Misalnya, seberapa pun besar permintaan minyak sawit di pasar dunia akan dipenuhi oleh Indonesia. Konflik lahan pun tak terelakkan,” ungkapnya. Pengusaha dan petani pasti tergiur oleh harga komoditas sawit yang sangat tinggi. Apalagi pemerintah mendukung.
KPA mencatat, tahun lalu konflik agraria ini melibatkan 69.975 keluarga di seluruh Indonesia. Mereka bersengketa atas areal seluas 476.048 hektar. ”Tahun lalu 22 orang tewas akibat konflik pertanahan,” kata Iwan.
BPN harus aktif
Dari Medan, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Raden Heru Prakoso mengatakan, polisi berupaya menyelesaikan konflik yang berawal dari sengketa lahan secara dialogis. Pertengahan Januari lalu, Polda Sumut mengundang berbagai kalangan untuk berdialog terkait konflik agraria itu.
Bahkan, unsur pimpinan daerah Sumut, seperti Kepala Polda Inspektur Jenderal Wisjnu Amat Sastro dan Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, sudah bertemu membahas upaya dialogis penyelesaian konflik lahan. Pertemuan juga dihadiri Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayor Jenderal TNI Lodewijk F Paulus, Kepala Kejaksaan Tinggi Basuni Masyarif, dan semua kepala daerah.
Kantor Wilayah BPN Sumut diminta aktif menangani kasus sengketa lahan pula. BPN menjadi simpul penting dalam sengketa lahan yang rawan konflik. ”Kami berharap pertemuan itu ditindaklanjuti BPN dan pemerintah daerah,” kata Heru.
Menurut Heru, sengketa lahan di Sumut sangat rawan memicu konflik horizontal. Polda Sumut mencatat, tahun 2005-2011 terjadi 2.833 konflik lahan di provinsi itu (Kompas, 28/5).
Kepala Tata Usaha BPN Sumut Ahmad Yani menjelaskan, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) berupaya memetakan lahan yang selama ini menjadi obyek sengketa. BPN Sumut bertugas mengukur lahan itu untuk dijadikan patokan batas lahan. Rencananya akhir Mei ini pengukuran itu rampung.
Siapkan formula
Staf khusus Kepala BPN, Usep Setiawan, di Jakarta menuturkan, BPN menyiapkan formula kebijakan pembaruan agraria untuk mengatasi sengketa lahan dan konflik terkait tanah yang kian meningkat. Akan tetapi, diakui, BPN tak mungkin menyelesaikan konflik tanah sendirian. Semua pemangku kepentingan terkait agraria harus mau duduk bersama merumuskan langkah pembaruan agraria.Formula yang ideal bagi penyelesaian konflik agraria adalah pelaksanaan pembaruan agraria secara menyeluruh. Formula ini sekarang sedang disiapkan BPN,” ujar Usep.
Usep mengatakan, titik sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria adalah mengatasi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya. Salah satu langkah pembaruan agraria yang jamak dilakukan adalah redistribusi lahan milik negara atau swasta kepada petani tak bertanah alias petani gurem.
Namun, BPN tak mungkin bekerja sendiri. ”Butuh juga langkah yang sama dilakukan instansi terkait, termasuk pemerintah daerah. Pendekatan sporadis dan parsial dalam menangani konflik yang beragam dan masif tak akan efektif,” kata Usep.
Menurut Usep, sepantasnya Presiden turun tangan. Konflik lahan adalah bom waktu yang bisa menjadi sumber gangguan sosial dan politik. Presiden harus mengarahkan semua sektor agar membuat strategi khusus bersama mengatasi konflik agraria.(AHA/RAZ/BIL/IRE/EGI/MAS/MHF/HAN/INK/UTI/JON/REN)
Kompas Cetak 29 Mei 2012