Oleh: Iwan Nurdin.
Pada masa krisis moneter tahun 1998, para petani perkebunan rakyat Indonesia khususnya para penghasil komoditas perkebunan ekspor seperti kopi, lada, kakao dan sawit mendapatkan keuntungan. Mengapa demikian, sebab melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS telah membuat harga hasil panen perkebunan rakyat membumbung tinggi. Maka, pada awal-awal krisis ekonomi 1998-2000 kerapkali kita menemukan kisah-kisah ”lucu” petani perkebunan di Sumatera, Sulawesi, Bangka Belitung, yang kaya mendadak. Petani lada di Bangka Belitung misalnya kesulitan memarkir mobil pribadi mereka di lebak tempat mereka mandi. Di Lampung, dealer-dealer sepeda motor kehabisan stok, sehingga pembeli harus indent sepeda motor hingga berbulan lamanya. Sebab petani kopi dan lada kebanyakan menggunakan uang hasil panen mereka untuk membeli sepeda motor. Lain lagi cerita di Sulawesi Utara, petani cengkeh disana membeli kulkas padahal belum ada listrik di kampung. Walhasil, lemari es tersebut dipakai untuk menyimpan pakaian.
Namun, cerita sepuluh tahun lewat tersebut tidak akan terulang dalam krisis ekonomi global sekarang. Barang-barang primer komoditas ekpor andalan Indonesia ini permintaannya di pasar dunia menurun drastis karena krisis ekonomi. Akibatnya, para petani perkebunan sekarang menjadi salahsatu korban utama dan pertama dalam krisis. Kisah-kisah memilukan petani perkebunan saat ini kerap mewarnai media massa. Di Jambi, puluhan petani sawit diberitakan masuk RS Jiwa dan beberapa bunuh diri karena harga Tandan Buah Sawit (TBS) yang sebelumnya mencapai Rp.2000 jatuh menjadi Rp. 200. Juga harga karet jatuh menjadi Rp. 2000 dari sebelumnya Rp.10.000.
Bisajadi, kisah pilu diatas hanya permulaan saja. Sebab, dengan melihat beberapa kenyataan umum di lapangan, potensi terjadinya wabah kelaparan dan gizi buruk di sentra-sentra perkebunan sangatlah tinggi. Kita tahu bersama bahwa sentra perkebunan rakyat baik dikarenakan topografis wilayah dan kebudayaan agrarisnya yang khas kerapkali tidak menanam tanaman penghasil karbohidrat seperti beras dan juga banyak yang telah melupakan usaha memelihara sumber protein lainnya seperti ikan, telur dan ayam. Bahan-bahan kebutuhan makanan pokok kerap didatangkan dari wilayah lain. Dan, kita juga mafhum bahwa wilayah perkebunan rakyat memiliki sarana infrastruktur yang buruk, sehingga seringkali harga-harga melambungkan tinggi. Tentusaja kita merasa semakin miris, sebab harga tersebut melambung di tengah menurunnya daya beli mereka.
Kondisi serupa juga dialami perusahaan perkebunan. Rencana ekspansi di awal tahun 2008 agaknya harus membentur kenyataan pahit. Sebab, turunnya harga dan permintaan di pasar ekspor telah menyebabkan kinerja perusahaan perkebunan menurun drastis. Walhasil, pengupahan yang layak bagi buruh perkebunan juga akan semakin terlupakan. Para buruh kebun ini bernasib serupa dengan para petani perkebunan rakyat bahkan lebih buruk. Sebab, jika mereka murni buruh kebun alias tidak mempunyai lahan pertanian sedikitpun maka tidak ada tambahan penghasilan di luar upah buruh kebun.