Bertempat di halaman Istana Bogor, Kamis, 22 Oktober 2010, Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) mengadakan puncak peringatan Hari Agraria Nasional yang ke 50. Peringatan kali ini terasa istimewa, karena sebelumnya sudah beredar berita di beberapa media massa bahwa presiden akan mencanangkan dimulainya program reforma agraria.
Bagi anda yang belum familiar dengan istilah ini, saya bagikan pengertiannya. Reforma Agraria adalah penataan struktur pemilikan dan penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Salah satu program utama reforma agraria adalah redistribusi tanah kepada rakyat/petani miskinsalahsatu.
Namun, lagi-lagi pencanangan tersebut tidak terjadi. Meskipun anehnya, ulasan-ulasan media massa menganggap bahwa presiden telah memulai sebuah gerakan redistribusi tanah. Bahkan, dengan dramatisasi bahwa presiden memulai agenda dengan menangis haru. Untuk hal ini, saya berharap bahwa saya yang salah memahami keadaan.
Sebab bisa saja diklaim bahwa program redistribusi tanah sudah dimulai. Karena, meski tidak ada dalam pidato, pada saat pembagian sertifikat bagi para petani Cilacap di Istana Bogor adalah symbol pencanangan redistribusi 142.159 hektare tanah kepada petani di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi. Lebih detail soal itu tidak dibahas oleh media massa.
Oh ya, mengapa saya menyebut dengan istilah lagi-lagi. Ya, ini adalah undangan ketiga bagi saya untuk hadir dalam sebuah acara BPN dimana presiden melihat secara langsung dan memberikan ucapan selamat kepada para penerima sertifikat tanah. Acara semacam ini telah tiga kali dilakukan oleh SBY dan BPN. Pertama sekali di pelataran candi Prambanan Jogjakarta akhir 2008. Disana, SBY juga menyerahkan sertifikat dan meresmikan program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Kedua kali, dilakukan pada Januari 2010 di Merunda, Jakarta Utara. Disini, presiden meresmikan kendaraan Larasita untuk daerah pelosok dan pulau terpencil ditambah dengan instruksi program-program strategis BPN. Dan ketiga kalinya di Istana Bogor lalu.
Secara substansi dari ketiga acara ini belum beranjak banyak, pemerintah belum merealisasikan aturan tentang Pembaruan Agraria (Reforma Agraria). Mengapa aturan tentang Pembaruan Agraria mendesak disyahkan oleh pemerintah? Sebab aturan lama misalnya PP 224/1961 perlu dilengkapi, apalagi alat kelembagaan dan tata hubungan pemerintah pusat dan daerah telah banyak berubah. Sehingga, relevansi PP 224 menjadi berkurang.
Kabarnya, seperti diungkapkan oleh Kepala BPN-RI Joyowinoto dalam berbagai kesempatan, peraturan soal Reforma Agraria sudah disetujui oleh lintas departemen dan tinggal menunggu paraf dari SBY. Dan, PP tersebut akan menjadi kado bagi 50 Tahun UUPA 1960.
Mengapa ketidakadilan struktur agrarian harus segera direform: menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset yang ada di Tanah Air, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
Selanjutnya, pemerintah telah memberikan 42 juta hektar hutan kepada 301 perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan HTI atau hutan tanaman industri (Kementerian Kehutanan 06/09). Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan.
Jika dikelompokkan, perusahaan yang menguasai lebih dari 50 persen tanah republik ini tidak sampai 500 grup, baik perusahaan nasional maupun asing. Akibatnya, kekuatan ekonomi dan politik negeri ini berpusat dan dikendalikan oleh segelintir orang (Chalid Muhammad 2010).
Jadi, reforma agraria itu sebuah kemutlakan untuk menyelamatkan bangsa ini dari penguasaan segelintir orang atau 500 group itu tadi. Semoga peraturan tentang pembaruan agraria segera terbit untuk menegakkan keadilan agraria di tanah air.
October 30, 2010
Tanggapan atas Rencana Pengusiran Petani Kopi Jambi
Pengusiran warga dari kawasan hutan bukan perkara baru. Dahulu, di zaman Orde Baru, para petani kopi di Gunung Balak, Padang Cermin, Lampung diusir dalam sebuah operasi yang melibatkan tentara, polisi, dan aparat pemda. Sampai sekarang, Perhutani bersama dengan aparat kepolisian juga kerap mengusir warga dari kawasan hutan. Operasi wanalaga lodaya adalah operasi kehutanan yang sering dilakukan di Jawa Barat dalam mengusir petani penggarap di kawasan hutan.
Jika kemudian ada khabar bahwa petani kopi di Lembah Masurai, Kab. Merangin Jambi hendak diusir oleh operasi bersama antara Kementerian Kehutanan, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten dan Aparat Kepolisian ini seperti sebuah sejarah yang berulang.
Namun, sebelum pengusiran ini, di media massa sempat diulas bahwa pemerintah daerah sedang mengusahakan sebuah program Hutan Desa yang akan memberi hak pengelolaan kepada masyarakat sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas kurang lebih 41.000 hektar. Hutan Desa tersebut adalah jawaban yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat sekitar dalam mengelola hutan. Anehnya, bersamaan dengan itu, pemerintah akan mengusir keluar petani kopi yang kebetulan sebagian besar adalah para pendatang dari luar provinsi Jambi. Wilayah Hutan Desa yang diusulkan dan tempat petani kopi sesungguhnya bersebelahan dan beberapa bersinggungan.
Timbul kecurigaan bahwa Pemda dan Kemenhut tengah melakukan sebuah upaya busuk untuk mengadu domba masyarakat asli dengan pendatang. Kemenhut seolah sedang memberi kabar kepada masyarakat bahwa saya akan memberi hak pengelolaan kepada kalian dalam bentuk hutan desa, namun sayang sebagian lahan kalian sudah diduduki warga pendatang.
Sekarang, marilah kita tilik siapa sesungguhnya pendatang itu? Mereka adalah petani kopi dari Pagar Alam, Lampung, dan Kerinci. Seperti kebiasaan di daerah asalnya, mereka membuka lahan-lahan hutan dan menanamnya menjadi kebun kopi yang subur. Pola pemukiman mereka menyebar dan tidak mengelompok, sebab mereka membangun rumah semi permanen atau gubuk pada setiap kebun yang digarap.
Kabarnya, mereka datang dibiayai oleh para toke kopi. Bahkan, toke ini membiayai hidup para petani penggarap sebelum petani dapat memanen kopinya. Imbalannya? para petani ini wajib menjual kopi kepada para toke yang membiayai mereka berkebun.
Apakah mereka orang-orang kaya? Bukan. Mereka adalah para pembangun awal sebuah peradaban baru akibat terlempar dari kepemilikan lamanya yang tak mampu mereka pertahankan. Lahan di daerah asalnya telah terjual habis atau terlalu sedikit. Mereka membangun kebun kopi dengan berjuang keras tanpa bantuan sepeserpun dari pemerintah.
Jika Pemda dan Kementerian Kehutanan mau menyelesaikan soal ini, tiada cara lain berembuglah, bermusyawarahlah, supaya mereka mendapatkan hak kelola. Bersama dengan mereka buatlah komitmen supaya jumlah mereka tidak bertambah, beri jangka waktu untuk meninggalkan lokasi yang memang secara hukum tidak dapat sama sekali dikelola rakyat dengan prinsip relokasi.
Persoalan dengan masyarakat sekitar selama ini tidak ada, tentu tak elok membuat isu Hutan Desa pada lokasi yang sama. Harus segera diluruskan sehingga tidak ada kesan pemerintah telah membuat rakyat berhadap-hadapan untuk baku hantam.
Terakhir: secara tegas, tindak dengan tegas dan tangkap para toke yang telah melakukan praktek lintah darat, ijon dan mendorong rakyat melakukan pembukaan lahan hutan secara tidak sah.
Jika kemudian ada khabar bahwa petani kopi di Lembah Masurai, Kab. Merangin Jambi hendak diusir oleh operasi bersama antara Kementerian Kehutanan, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten dan Aparat Kepolisian ini seperti sebuah sejarah yang berulang.
Namun, sebelum pengusiran ini, di media massa sempat diulas bahwa pemerintah daerah sedang mengusahakan sebuah program Hutan Desa yang akan memberi hak pengelolaan kepada masyarakat sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas kurang lebih 41.000 hektar. Hutan Desa tersebut adalah jawaban yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat sekitar dalam mengelola hutan. Anehnya, bersamaan dengan itu, pemerintah akan mengusir keluar petani kopi yang kebetulan sebagian besar adalah para pendatang dari luar provinsi Jambi. Wilayah Hutan Desa yang diusulkan dan tempat petani kopi sesungguhnya bersebelahan dan beberapa bersinggungan.
Timbul kecurigaan bahwa Pemda dan Kemenhut tengah melakukan sebuah upaya busuk untuk mengadu domba masyarakat asli dengan pendatang. Kemenhut seolah sedang memberi kabar kepada masyarakat bahwa saya akan memberi hak pengelolaan kepada kalian dalam bentuk hutan desa, namun sayang sebagian lahan kalian sudah diduduki warga pendatang.
Sekarang, marilah kita tilik siapa sesungguhnya pendatang itu? Mereka adalah petani kopi dari Pagar Alam, Lampung, dan Kerinci. Seperti kebiasaan di daerah asalnya, mereka membuka lahan-lahan hutan dan menanamnya menjadi kebun kopi yang subur. Pola pemukiman mereka menyebar dan tidak mengelompok, sebab mereka membangun rumah semi permanen atau gubuk pada setiap kebun yang digarap.
Kabarnya, mereka datang dibiayai oleh para toke kopi. Bahkan, toke ini membiayai hidup para petani penggarap sebelum petani dapat memanen kopinya. Imbalannya? para petani ini wajib menjual kopi kepada para toke yang membiayai mereka berkebun.
Apakah mereka orang-orang kaya? Bukan. Mereka adalah para pembangun awal sebuah peradaban baru akibat terlempar dari kepemilikan lamanya yang tak mampu mereka pertahankan. Lahan di daerah asalnya telah terjual habis atau terlalu sedikit. Mereka membangun kebun kopi dengan berjuang keras tanpa bantuan sepeserpun dari pemerintah.
Jika Pemda dan Kementerian Kehutanan mau menyelesaikan soal ini, tiada cara lain berembuglah, bermusyawarahlah, supaya mereka mendapatkan hak kelola. Bersama dengan mereka buatlah komitmen supaya jumlah mereka tidak bertambah, beri jangka waktu untuk meninggalkan lokasi yang memang secara hukum tidak dapat sama sekali dikelola rakyat dengan prinsip relokasi.
Persoalan dengan masyarakat sekitar selama ini tidak ada, tentu tak elok membuat isu Hutan Desa pada lokasi yang sama. Harus segera diluruskan sehingga tidak ada kesan pemerintah telah membuat rakyat berhadap-hadapan untuk baku hantam.
Terakhir: secara tegas, tindak dengan tegas dan tangkap para toke yang telah melakukan praktek lintah darat, ijon dan mendorong rakyat melakukan pembukaan lahan hutan secara tidak sah.
October 22, 2010
Pemerintah Bagikan Tanah di 21 Provinsi
VIVAnews - Peringatan Hari Agraria Nasional kali ini berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakannya di Istana Bogor dengan memberikan sertifikat tanah hasil land reform atau redistribusi tanah kepada 5.141 kepala keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Tanah yang dibagi pada petani Cilacap ini tak banyak, hanya 214 hektare sehingga setiap kepala keluarga mendapat kurang dari 400 meter persegi. Namun, pemberian tanah kepada para petani Cilacap ini menjadi simbol untuk redistibusi tanah seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi.
SBY mengatakan tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. "Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Saya terharu," kata SBY.
SBY lalu sempat terdiam beberapa saat seperti menahan tangis. Kemudian dengan suara parau, SBY meminta Pemerintah agar menerapkan konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar '45.
"Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita implementasikan niat luhur pendiri republik, rakyat harus dapat akses lebih luas agar kesejahtraan mereka semakin meningkat di negeri tercinta," ucap SBY.
Janji Kampanye
Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, yang hadir dalam acara puncak peringatan Hari Agraria itu menyatakan, land reform merupakan bagian dari janji kampanye SBY sejak 2004. Bahkan pada 31 Januari 2007, SBY menegaskan janji melakukan redistribusi tanah untuk kesejahteraan petani. Pernyataan Presiden itu, kata Nurdin, disambut Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
"Setidaknya, tiga kali Presiden berkomitmen mau mendistribusikan tanah," kata Iwan kepada VIVAnews.
Sebelum pernyataan di Bogor, Presiden pernah menjanjikan hal itu di Prambanan pada awal 2008 dan di Marunda beberapa waktu lalu. Dan akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Iwan melihat, agenda pemberian sertifikat pada ribuan kepala keluarga hari ini belum sepenuhnya land reform seperti yang diinginkan petani selama ini. Secara regulasi, belum ada peraturan organik yang memaksa aparat kabupaten untuk menjalankan land reform.
Memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menjadi dasar land reform di era Presiden Soekarno. Namun PP yang masih berlaku itu sudah tak bisa diaplikasikan karena lembaga yang menjalankan seperti Panitia Land Reform sudah tak ada.
Namun, KPA mengapresiasi langkah Presiden hari ini. "Presiden memberikan sinyal mendukung land reform, tapi belum sampai tahap operasional," katanya. Mengapresiasi karena program land reform ini bergulir lagi setelah 45 tahun terhenti.
Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi petani yang konsisten menyuarakan perlunya land reform, menilai acara hari ini hanya bagian dari pencitraan. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Achmad Ya'kub, menyatakan, penyerahan sertifikat hanya ujung dari kerangka land reform, belum bisa dikatakan land reform seutuhnya.
"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ini supaya tidak tergadai, belum jelas dari acara hari ini," kata Ya'kub yang mengaku diundang menghadiri penyerahan sertifikat di Istana Bogor namun memilih berada di luar saja, berdemonstrasi bersama ribuan petani.
Menurut Ya'kub, land reform yang dicanangkan SBY juga tidak akan bisa terlaksana tanpa penguatan peran Badan Pertanahan Nasional menjadi sekelas Kementerian Koordinator. "Dengan begitu, dia bisa membawahi perkebunan, pertanian dan kehutanan."
"Ini saja, BPN katanya reformasi agraria, tapi hak guna usaha perkebunan terus dikeluarkan, dari yang yang hanya 3 juta hektare pada 1990-an, sekarang sudah naik menjadi 7 hektare," kata Ya'kub.
Pada saat yang sama, dia melanjutkan, terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi nonpertanian.
Seharusnya, jika Presiden memang serius memimpin land reform ini, akan ada belasan juta rakyat miskin pedesaan yang dientaskan karena terdapat 7,3 juta hektare lahan terlantar milik negara. Jika satu kepala keluarga rakyat miskin diberi tanah satu hektare, maka akan ada belasan juta orang yang selesai problem pengangguran, kemiskinan dan kelaparannya. "Selain itu, juga ada belasan juta suara mendukungnya dalam Pemilu," kata Ya'kub.
Dan strategi ini akan semakin sukses dengan pengaturan tata guna tanah secara ketat, dipisahkan mana lahan pertanian, perumahan dan komersial. "Kemudian seperti di Jepang, tanah hasil land reform diatur hanya boleh diwariskan pada satu orang supaya tidak ada pemecahan lahan," kata Ya'kub.
Kepala BPN Joyo Winoto menyatakan, pemberian sertifikat pada 5.141 petani di Cilacap ini baru sukses kecil dari Reforma Agraria secara damai. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.
Joyo menargetkan, supaya indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,37, diperlukan redistribusi lahan tambahan seluas 6 juta hektare. Dan target ini, kata Joyo, semoga bisa dicapai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berlaku beserta dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria.
Syarat mereka yang bisa menerima tanah itu adalah kategori miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tapi luasnya kecil, dan berbagai syarat lain. Semua proses itu mirip dengan pelaksanaan PP 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah.
Menurut Joyo, teknik penerapan ini mencontoh Venezuela yang setelah delapan tahun menerapkan prinsip yang mirip dengan pokok-pokok RPP Reforma Agraria ini. Mereka berhasil membagikan tanah seluas 3,7 hektare.
Dalam dua tiga tahun ke depan, Joyo menjelaskan, pemerintah menargetkan 600-700 ribu hektare bisa dibagikan dari tanah sisa PP Tahun 1961. Sementara itu, dengan penerapan RPP Reforma Agraria nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare. Pemerintah menargetkan pembagian tanah itu bisa selesai pada 2025.
Namun, petani miskin di Indonesia jangan senang dulu. Seperti disampaikan Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. "Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya."
• VIVAnews
Tanah yang dibagi pada petani Cilacap ini tak banyak, hanya 214 hektare sehingga setiap kepala keluarga mendapat kurang dari 400 meter persegi. Namun, pemberian tanah kepada para petani Cilacap ini menjadi simbol untuk redistibusi tanah seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi.
SBY mengatakan tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. "Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Saya terharu," kata SBY.
SBY lalu sempat terdiam beberapa saat seperti menahan tangis. Kemudian dengan suara parau, SBY meminta Pemerintah agar menerapkan konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar '45.
"Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita implementasikan niat luhur pendiri republik, rakyat harus dapat akses lebih luas agar kesejahtraan mereka semakin meningkat di negeri tercinta," ucap SBY.
Janji Kampanye
Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, yang hadir dalam acara puncak peringatan Hari Agraria itu menyatakan, land reform merupakan bagian dari janji kampanye SBY sejak 2004. Bahkan pada 31 Januari 2007, SBY menegaskan janji melakukan redistribusi tanah untuk kesejahteraan petani. Pernyataan Presiden itu, kata Nurdin, disambut Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
"Setidaknya, tiga kali Presiden berkomitmen mau mendistribusikan tanah," kata Iwan kepada VIVAnews.
Sebelum pernyataan di Bogor, Presiden pernah menjanjikan hal itu di Prambanan pada awal 2008 dan di Marunda beberapa waktu lalu. Dan akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Iwan melihat, agenda pemberian sertifikat pada ribuan kepala keluarga hari ini belum sepenuhnya land reform seperti yang diinginkan petani selama ini. Secara regulasi, belum ada peraturan organik yang memaksa aparat kabupaten untuk menjalankan land reform.
Memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menjadi dasar land reform di era Presiden Soekarno. Namun PP yang masih berlaku itu sudah tak bisa diaplikasikan karena lembaga yang menjalankan seperti Panitia Land Reform sudah tak ada.
Namun, KPA mengapresiasi langkah Presiden hari ini. "Presiden memberikan sinyal mendukung land reform, tapi belum sampai tahap operasional," katanya. Mengapresiasi karena program land reform ini bergulir lagi setelah 45 tahun terhenti.
Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi petani yang konsisten menyuarakan perlunya land reform, menilai acara hari ini hanya bagian dari pencitraan. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Achmad Ya'kub, menyatakan, penyerahan sertifikat hanya ujung dari kerangka land reform, belum bisa dikatakan land reform seutuhnya.
"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ini supaya tidak tergadai, belum jelas dari acara hari ini," kata Ya'kub yang mengaku diundang menghadiri penyerahan sertifikat di Istana Bogor namun memilih berada di luar saja, berdemonstrasi bersama ribuan petani.
Menurut Ya'kub, land reform yang dicanangkan SBY juga tidak akan bisa terlaksana tanpa penguatan peran Badan Pertanahan Nasional menjadi sekelas Kementerian Koordinator. "Dengan begitu, dia bisa membawahi perkebunan, pertanian dan kehutanan."
"Ini saja, BPN katanya reformasi agraria, tapi hak guna usaha perkebunan terus dikeluarkan, dari yang yang hanya 3 juta hektare pada 1990-an, sekarang sudah naik menjadi 7 hektare," kata Ya'kub.
Pada saat yang sama, dia melanjutkan, terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi nonpertanian.
Seharusnya, jika Presiden memang serius memimpin land reform ini, akan ada belasan juta rakyat miskin pedesaan yang dientaskan karena terdapat 7,3 juta hektare lahan terlantar milik negara. Jika satu kepala keluarga rakyat miskin diberi tanah satu hektare, maka akan ada belasan juta orang yang selesai problem pengangguran, kemiskinan dan kelaparannya. "Selain itu, juga ada belasan juta suara mendukungnya dalam Pemilu," kata Ya'kub.
Dan strategi ini akan semakin sukses dengan pengaturan tata guna tanah secara ketat, dipisahkan mana lahan pertanian, perumahan dan komersial. "Kemudian seperti di Jepang, tanah hasil land reform diatur hanya boleh diwariskan pada satu orang supaya tidak ada pemecahan lahan," kata Ya'kub.
Kepala BPN Joyo Winoto menyatakan, pemberian sertifikat pada 5.141 petani di Cilacap ini baru sukses kecil dari Reforma Agraria secara damai. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.
Joyo menargetkan, supaya indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,37, diperlukan redistribusi lahan tambahan seluas 6 juta hektare. Dan target ini, kata Joyo, semoga bisa dicapai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berlaku beserta dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria.
Syarat mereka yang bisa menerima tanah itu adalah kategori miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tapi luasnya kecil, dan berbagai syarat lain. Semua proses itu mirip dengan pelaksanaan PP 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah.
Menurut Joyo, teknik penerapan ini mencontoh Venezuela yang setelah delapan tahun menerapkan prinsip yang mirip dengan pokok-pokok RPP Reforma Agraria ini. Mereka berhasil membagikan tanah seluas 3,7 hektare.
Dalam dua tiga tahun ke depan, Joyo menjelaskan, pemerintah menargetkan 600-700 ribu hektare bisa dibagikan dari tanah sisa PP Tahun 1961. Sementara itu, dengan penerapan RPP Reforma Agraria nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare. Pemerintah menargetkan pembagian tanah itu bisa selesai pada 2025.
Namun, petani miskin di Indonesia jangan senang dulu. Seperti disampaikan Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. "Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya."
• VIVAnews
October 20, 2010
Secuil Tanah Sejengkal Kehormatan
Koran Jakarta, Selasa, 28 September 2010
Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati. Adalah sebuah peribahasa masyarakat jawa yang berarti secuil tanah adalah sejengkal kehormatan yang siap untuk dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Itu adalah kalimat ampuh yang siap membakar amarah, sekaligus membulatkan tekad. Itu adalah tata bahasa manusia agraris yang setiap hari ber-gaman (bersenjata) arit dan memanggul pacul.
Bagi kaum tani, tanah adalah segala-galanya, sebab di sanalah tempat lahir Dewi Sri.
Sirah peri bahasa di atas kini bisa dipungut kembali untuk memahami kenapa Presiden Soekarno pada 26 Agustus 1963 menerbitkan Keppres yang menyatakan bahwa hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebagai Hari Tani Nasional.
“UUPA adalah UU Pertama setelah 15 tahun Indonesia merdeka. UU yang mengatur pertanahan dengan sangat populis,” terang Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Badan Pertanahan Nasional (BPN), Endriatmo Sutarto, pekan lalu, di Yogyakarta.
Menurut Endriatmo, karena sifat populis yang melekat pada UUPA itulah, sampai hari ini tetap menjadi rujukan bagi pegiat pertanahan di negeri ini, apalagi dengan ditambah kenyataan bahwa sampai hari ini belum lahir satu pun produk hukum yang memihak kepada kepentingan rakyat.
“Namun, sayangnya, karena sifat kerakyatannya itulah UUPA dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik Orde Baru, maka UU tersebut seperti dibekukan,” tuturnya.
Laporan FAO tahun ini menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia pada 2009 mencapai 1,02 miliar jiwa, 36,7 juta jiwa di antaranya adalah penduduk negeri ini.
Data di Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 mencatat bahwa kemiskinan perdesaan berjumlah 29,36 juta jiwa, jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan yang mencapai 20,62 juta jiwa.
“Dan jumlah kemiskinan perdesaan ini sebenarnya setara dengan jumlah petani gurem yang tercatat sebanyak 13,7 juta jiwa pada 2003 dan 15,6 juta jiwa pada 2008,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Ya’kub.
Sensus Pertanian pada 2003 menyebutkan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga pada 1993 menjadi 13,7 juta keluarga pada 2003 (2,6 persen per tahun).
Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). “Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani akibat semakin sempitnya lahan pertanian.
Di sisi lain, tanah makin terkonsentrasi pada golongan kecil konglomerat. Hanya 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional. Sekitar 62-87 persen aset itu dalam bentuk tanah, ” jelas Yakub.
Dampak dari semua hal di atas, nyanyian “tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, benar-benar tinggal nyanyian sunyi pengantar tidur. Bangsa agraris yang dulunya merupakan produsen dan lumbung pangan itu, menurut SPI, kini justru menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia.
Dipaparkan Yakub, sejak 1998- 2006, hampir 50 persen beras yang diperdagangkan di tingkat internasional atau kira-kira dua juta ton lebih diimpor ke Indonesia.
Negeri ini juga mengimpor 70 persen dari total kebutuhan susu nasional, 45 persen pasokan kedelai, 15 persen kacang tanah, 50 persen daging, 10 persen jagung, dan satu juta ton garam.
“Secara umum ketergantungan pangan melalui impor telah menghabiskan dana tiap tahunnya mencapai 51 triliun rupiah,” tandas Yakub yang juga anggota Dewan Ketahanan Pangan Nasional ini.
Kebergantungan terhadap impor itu, pada gilirannya, menciptakan situasi rawan pangan.
Pada tahun lalu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), laporan dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, (BKPP) sebanyak 137 desa di DIY masuk daftar desa yang berkategori rawan pangan dengan separo di antaranya berada di Kabupaten Gunung Kidul.
“Perincian desa rawan pangan tersebut, masing-masing 77 desa terdapat di Kabupaten Gunung Kidul, 35 desa di Kabupaten Kulon Progo, 18 desa di Kabupaten Bantul, dan 6 desa di Kabupaten Sleman,” kata Kepala Bidang Distribusi BKPP DIY, Hardiyanto.
Konflik Agraria
Dalam situasi rawan pangan, kemiskinan, dan ketiadaan lahan garapan petani itu, konfl ik agraria antara petani melawan pengusaha dan negara berlangsung secara masif dan menjadi konflik sosial berlarut.
Menurut Deputi Riset Dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, konfl ik agraria yang terjadi di Indonesia selalu berlangsung dalam pola yang mirip.
“Kemiripannya, dalam konflik ini, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan, serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Ini terus dihadapi petani dalam memperjuangkan pembaruan agraria,” kata Iwan.
Konflik itu tersebar di 2.834 desa atau kelurahan, 1.355 kecamatan, dan 286 kabupaten atau kota. Sedangkan luas tanah yang dipersengketakan mencapai 10 juta hektare dan menyebabkan tak kurang dari satu juta keluarga petani menjadi korban.
Dicontohkan Iwan, potret kasus agraria dalam beberapa tahun ini, yakni kejadian Bulukumba, tragedi Tanak Awuk 2005, kriminalisasi petani garut 2006, kasus petani di Lampung, dan terakhir penembakan 12 petani Rengas Ogan Ilir -Sumatra Selatan pada Desember 2009, serta di awal tahun 2010 terjadi kasus petani di Kampar Riau.
Sebagai perbandingan, data dari Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa pada 2009, dari setidaknya 4.000 laporan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM, 62 persen di antaranya merupakan kasus lingkungan hidup dan konflik agraria.
Sedangkan data dari BPN, pada 2007 telah terjadi 4.581 kasus sengketa pertanahan, 858 kasus konflik pertanahan, dan 2.952 kasus perkara pertanahan. Secuil tanah itu memang musti direbut hingga mati. Indonesia tanah air subur dan kaya. Subur, tentu saja. Kaya, sepertinya kita mesti mengelus dada.
YK/L-1
Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati. Adalah sebuah peribahasa masyarakat jawa yang berarti secuil tanah adalah sejengkal kehormatan yang siap untuk dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Itu adalah kalimat ampuh yang siap membakar amarah, sekaligus membulatkan tekad. Itu adalah tata bahasa manusia agraris yang setiap hari ber-gaman (bersenjata) arit dan memanggul pacul.
Bagi kaum tani, tanah adalah segala-galanya, sebab di sanalah tempat lahir Dewi Sri.
Sirah peri bahasa di atas kini bisa dipungut kembali untuk memahami kenapa Presiden Soekarno pada 26 Agustus 1963 menerbitkan Keppres yang menyatakan bahwa hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebagai Hari Tani Nasional.
“UUPA adalah UU Pertama setelah 15 tahun Indonesia merdeka. UU yang mengatur pertanahan dengan sangat populis,” terang Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Badan Pertanahan Nasional (BPN), Endriatmo Sutarto, pekan lalu, di Yogyakarta.
Menurut Endriatmo, karena sifat populis yang melekat pada UUPA itulah, sampai hari ini tetap menjadi rujukan bagi pegiat pertanahan di negeri ini, apalagi dengan ditambah kenyataan bahwa sampai hari ini belum lahir satu pun produk hukum yang memihak kepada kepentingan rakyat.
“Namun, sayangnya, karena sifat kerakyatannya itulah UUPA dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik Orde Baru, maka UU tersebut seperti dibekukan,” tuturnya.
Laporan FAO tahun ini menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia pada 2009 mencapai 1,02 miliar jiwa, 36,7 juta jiwa di antaranya adalah penduduk negeri ini.
Data di Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 mencatat bahwa kemiskinan perdesaan berjumlah 29,36 juta jiwa, jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan yang mencapai 20,62 juta jiwa.
“Dan jumlah kemiskinan perdesaan ini sebenarnya setara dengan jumlah petani gurem yang tercatat sebanyak 13,7 juta jiwa pada 2003 dan 15,6 juta jiwa pada 2008,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Ya’kub.
Sensus Pertanian pada 2003 menyebutkan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga pada 1993 menjadi 13,7 juta keluarga pada 2003 (2,6 persen per tahun).
Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). “Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani akibat semakin sempitnya lahan pertanian.
Di sisi lain, tanah makin terkonsentrasi pada golongan kecil konglomerat. Hanya 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional. Sekitar 62-87 persen aset itu dalam bentuk tanah, ” jelas Yakub.
Dampak dari semua hal di atas, nyanyian “tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, benar-benar tinggal nyanyian sunyi pengantar tidur. Bangsa agraris yang dulunya merupakan produsen dan lumbung pangan itu, menurut SPI, kini justru menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia.
Dipaparkan Yakub, sejak 1998- 2006, hampir 50 persen beras yang diperdagangkan di tingkat internasional atau kira-kira dua juta ton lebih diimpor ke Indonesia.
Negeri ini juga mengimpor 70 persen dari total kebutuhan susu nasional, 45 persen pasokan kedelai, 15 persen kacang tanah, 50 persen daging, 10 persen jagung, dan satu juta ton garam.
“Secara umum ketergantungan pangan melalui impor telah menghabiskan dana tiap tahunnya mencapai 51 triliun rupiah,” tandas Yakub yang juga anggota Dewan Ketahanan Pangan Nasional ini.
Kebergantungan terhadap impor itu, pada gilirannya, menciptakan situasi rawan pangan.
Pada tahun lalu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), laporan dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, (BKPP) sebanyak 137 desa di DIY masuk daftar desa yang berkategori rawan pangan dengan separo di antaranya berada di Kabupaten Gunung Kidul.
“Perincian desa rawan pangan tersebut, masing-masing 77 desa terdapat di Kabupaten Gunung Kidul, 35 desa di Kabupaten Kulon Progo, 18 desa di Kabupaten Bantul, dan 6 desa di Kabupaten Sleman,” kata Kepala Bidang Distribusi BKPP DIY, Hardiyanto.
Konflik Agraria
Dalam situasi rawan pangan, kemiskinan, dan ketiadaan lahan garapan petani itu, konfl ik agraria antara petani melawan pengusaha dan negara berlangsung secara masif dan menjadi konflik sosial berlarut.
Menurut Deputi Riset Dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, konfl ik agraria yang terjadi di Indonesia selalu berlangsung dalam pola yang mirip.
“Kemiripannya, dalam konflik ini, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan, serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Ini terus dihadapi petani dalam memperjuangkan pembaruan agraria,” kata Iwan.
Konflik itu tersebar di 2.834 desa atau kelurahan, 1.355 kecamatan, dan 286 kabupaten atau kota. Sedangkan luas tanah yang dipersengketakan mencapai 10 juta hektare dan menyebabkan tak kurang dari satu juta keluarga petani menjadi korban.
Dicontohkan Iwan, potret kasus agraria dalam beberapa tahun ini, yakni kejadian Bulukumba, tragedi Tanak Awuk 2005, kriminalisasi petani garut 2006, kasus petani di Lampung, dan terakhir penembakan 12 petani Rengas Ogan Ilir -Sumatra Selatan pada Desember 2009, serta di awal tahun 2010 terjadi kasus petani di Kampar Riau.
Sebagai perbandingan, data dari Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa pada 2009, dari setidaknya 4.000 laporan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM, 62 persen di antaranya merupakan kasus lingkungan hidup dan konflik agraria.
Sedangkan data dari BPN, pada 2007 telah terjadi 4.581 kasus sengketa pertanahan, 858 kasus konflik pertanahan, dan 2.952 kasus perkara pertanahan. Secuil tanah itu memang musti direbut hingga mati. Indonesia tanah air subur dan kaya. Subur, tentu saja. Kaya, sepertinya kita mesti mengelus dada.
YK/L-1
October 7, 2010
Melawan Rencana Pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan.
Bertempat di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 6 Oktober 2010, diselenggarakan diskusi mengenai rencana pemerintah mengesahkan RUU-Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Sebuah RUU yang sedang dikebut oleh pemerintah dan parlemen untuk segera disahkan.
Acara tersebut dihadiri oleh kalangan yang selama ini concern dengan pembaruan agrarian di tanah air, diantaranya Berry N Furqon (Direktur Eknas Walhi), Idham Arsyad (Sekjen KPA), M. Nuruddin (Sekjen API), Dianto Bachriadi (Dewan Pakar KPA), Kasmita Widodo (JKPP) Laksmi (Sains Institute) dan para pegiat dari SPI, Kontras, IHCS, Sawit Watch, dan Pergerakan.
Acara ini diselenggarakan oleh KPA mengingat cepatnya pemerintah dan DPR membahas RUU ini. Padahal, menurut kalangan “Pegiat Agraria” RUU ini bukanlah kebutuhan yang mendesak bagi rakyat.
Para peserta diskusi banyak menyoroti latarbelakang RUU ini yang didorong oleh kalangan pengusaha melalui “National Summit”. Bahkan, jika dirunut kebelakang, RUU ini adalah Perpres 36/2005 jo 65/2010 yang dinaikkan menjadi level UU. Pendeknya, ini hanyalah copy-paste dari Perpres yang dahulu menyulut perlawanan masyarakat dan sekarang hendak dijadikan sebuah RUU. Menurut Idham Arsyad, “Jika mau memanjangkan ingatan, tata caranya mendorong lahirnya aturan ini juga serupa. Dahulu, Perpres 35/2005 yang direvisi menjadi Perpres 65/2006 didorong oleh gelaran “infrastructure summit”, sementara sekarang RUU ini didorong melalui “National Summit”.
Dalam diskusi, ditemukan beberapa poin utama yang menyebabkan RUU ini layak untuk ditolak bahkan harus dilawan adalah:
Pertama dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentusaja potensi pelanggaran HAM didalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Bahkan, dengan RUU ini yang sudah memiliki dokumen saja terancam bahaya apalagi yang tidak berdokumen.
Kedua, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah.
Ketiga, dalam RUU ini tatacara gantirugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.
Keempat, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyek-proyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan.
Kelima, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing, ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia.
Akhirnya disepakati bahwa RUU ini akan ditolak dengan membangun koalisi di Jakrta dan daerah-daerah untuk menggagalkan pengesahannya. Jadi, mari lawan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Acara tersebut dihadiri oleh kalangan yang selama ini concern dengan pembaruan agrarian di tanah air, diantaranya Berry N Furqon (Direktur Eknas Walhi), Idham Arsyad (Sekjen KPA), M. Nuruddin (Sekjen API), Dianto Bachriadi (Dewan Pakar KPA), Kasmita Widodo (JKPP) Laksmi (Sains Institute) dan para pegiat dari SPI, Kontras, IHCS, Sawit Watch, dan Pergerakan.
Acara ini diselenggarakan oleh KPA mengingat cepatnya pemerintah dan DPR membahas RUU ini. Padahal, menurut kalangan “Pegiat Agraria” RUU ini bukanlah kebutuhan yang mendesak bagi rakyat.
Para peserta diskusi banyak menyoroti latarbelakang RUU ini yang didorong oleh kalangan pengusaha melalui “National Summit”. Bahkan, jika dirunut kebelakang, RUU ini adalah Perpres 36/2005 jo 65/2010 yang dinaikkan menjadi level UU. Pendeknya, ini hanyalah copy-paste dari Perpres yang dahulu menyulut perlawanan masyarakat dan sekarang hendak dijadikan sebuah RUU. Menurut Idham Arsyad, “Jika mau memanjangkan ingatan, tata caranya mendorong lahirnya aturan ini juga serupa. Dahulu, Perpres 35/2005 yang direvisi menjadi Perpres 65/2006 didorong oleh gelaran “infrastructure summit”, sementara sekarang RUU ini didorong melalui “National Summit”.
Dalam diskusi, ditemukan beberapa poin utama yang menyebabkan RUU ini layak untuk ditolak bahkan harus dilawan adalah:
Pertama dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentusaja potensi pelanggaran HAM didalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Bahkan, dengan RUU ini yang sudah memiliki dokumen saja terancam bahaya apalagi yang tidak berdokumen.
Kedua, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah.
Ketiga, dalam RUU ini tatacara gantirugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.
Keempat, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyek-proyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan.
Kelima, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing, ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia.
Akhirnya disepakati bahwa RUU ini akan ditolak dengan membangun koalisi di Jakrta dan daerah-daerah untuk menggagalkan pengesahannya. Jadi, mari lawan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
October 6, 2010
Menanti PP Reforma Agraria dari SBY
Kabarnya, presiden SBY akan segera menandatangani PP tentang Reforma Agraria yang telah heboh diwacanakan oleh BPN dan Istana Presiden sejak 2007. Tentu ini adalah kabar baik, sebab telah lama rakyat Indonesia khususnya para petani kecil dan para tuna kisma mengharapkan ada program nyata dari pemerintah yang akan membuat mereka bisa mendapatkan tanah pertanian.
Harapan besar juga digantungkan oleh para petani yang menggarap tanah-tanah yang disebut areal konflik agraria, mereka sangat mengharapkan legalisasi atas tanah-tanah yang sedang mereka garap.
Meski demikian, tentu saja banyak yang bertanya-tanya, sejauh manakah kemajuan draft dari PP yang akan ditandatangani oleh presiden. Sebab, RPP ini berjalan pelan dan penuh misteri.Kabarnya, dari draft yang penulis peroleh, peraturan ini akan bernama PP tentang Reforma Agraria dan Penatagunaan Tanah. Namun, secara isi Reforma Agraria yang dimaksud sangat menjauh dari substansi Reforma Agraria.
Menurut saya, peraturan yang digagas ini justru akan mengerdilkan makna Reforma Agraria sebagai proses penataan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan pertanahan menjadi pekerjaan picisan berupa sertifikasi tanah dan celakanya RA diklaim oleh pemerintah telah ia jalankan.
Harapan besar juga digantungkan oleh para petani yang menggarap tanah-tanah yang disebut areal konflik agraria, mereka sangat mengharapkan legalisasi atas tanah-tanah yang sedang mereka garap.
Meski demikian, tentu saja banyak yang bertanya-tanya, sejauh manakah kemajuan draft dari PP yang akan ditandatangani oleh presiden. Sebab, RPP ini berjalan pelan dan penuh misteri.Kabarnya, dari draft yang penulis peroleh, peraturan ini akan bernama PP tentang Reforma Agraria dan Penatagunaan Tanah. Namun, secara isi Reforma Agraria yang dimaksud sangat menjauh dari substansi Reforma Agraria.
Menurut saya, peraturan yang digagas ini justru akan mengerdilkan makna Reforma Agraria sebagai proses penataan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan pertanahan menjadi pekerjaan picisan berupa sertifikasi tanah dan celakanya RA diklaim oleh pemerintah telah ia jalankan.
Subscribe to:
Posts (Atom)